A.
Susunan lembaga
negara dan sistem penyelenggaraan kekuasaan negara ( sebelum dan sesudah
amandemen UUD 1945 ).
1.
Lembaga Negara
dan Perundang-undangan (sebelum perubahan UUD 1945)
a.
Sistem
pemerintahan negara Indonesia
Negara
Republik Indonesia didirikan di atas dasar teori bernegara Indonesia yang
tumbuh dari kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan bangsa Indonesia sendiri.
Sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945, Indonesia ialah suatu negara yang
berdasarkan hukum (Rechtsstaat) ,
dengan pengertian bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari negara
berdasarkan hukum pada umumnya (genus
begrip), namun disesuaikan dengan keadaan di Indonesia, dengan menggunakan
ukuran baik pandangan hidup maupun pandangan bernegara bangsa Indonesia.
Apabila kita melihat pada Undang-Undang Dasar 1945, di
dalamnya ditegaskan bahwa pokok-pokok sistem pemerintah negara kita adalah :
I.
Negara Indonesia adalah Negara yang
berdasar atas hukum (Rechtsstaat),
tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtstaat).
II.
Pemerintahan berdasarkan atas sistem
Kostitusi (Hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan tidak terbatas)
III.
Kekuasaan negara tertinggi ditangan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (Die gesamte
Staatgewalt leigt allein bei der Majelis). Kedaulatan Rakyat dipegang oleh
suatu badan, bernama Majelis Permusyawaratan. Rakyat sebagai penjelmaan seluruh
rakyat Indonesia. Majelis ini menetapkan Undang-undang Dasar dan menetapkan
garis-garis besar haluan negara. Majelis juga mengangkat Kepala Negara
(Presiden) dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). Majelis inilah yang
memegang kekuasaan negara-negara yang tertinggi, sedang Presiden harus
menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh
Majelis.
IV.
Presiden ialah penyelenggara
Pemerintahan Negara yang tertinggi di bawah Majelis. Presiden ialah
penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi. Dalam menjalankan
pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah ditangan Presiden (concentration of power and responsibility
upon the President).
V.
Presiden tidak bertanggung jawab kepada
Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat untuk membentuk Undang-undang dan untuk menetapkan anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara.
VI.
Mentri negara ialah pembantu Presiden.
Mentri negara tidak bertanggung jawab kepada Dewan perwakilan rakyat. Presiden
mengangkat dan memberhentikan mentri-mentri negara. Mentri-mentri itu tidak
bertanggung jawab kepada Dewan perwakilan Rakyat. Kedudukannya tidak tergantung
pada Dewan, tetapi tertangtung pada presiden. Mereka adalah pembantu Presiden.
VII.
Dewan perwakilan rakyat senantiasa
mengawasi tindakan-tindakan Presiden, jika Dewan menganggap bahwa presiden
melanggar haluan negara yang telah ditetapkan Undang-undang Dasar, maka dapat
di persidangan istimewa agar diminta pertanggung jawabannya.
Berdasarkan
ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya
mengenai sistem pemerintahan negara tersebut, yang menetapkan bahwa presidenlah
yang menjalankan garis-garis besar haluan negara yang telah ditetapkan oleh
MPR, dan presiden mempunyai kekuasaan membentuk Undang-undang dengan
persetujuan DPR. Dengan begitu presiden memegang kekuasaan pemerintahan dalam
arti eksekutif dan di samping itu juga pemegang kekuasaan membentung
Undang-undang (dalam arti kekuasaan legislatif) dengan persetujuan DPR.
Denga
kata lain Presiden sebelum perubahan UUD 1945 adalah pemegang kekuasaan
‘eksekutif’ dan juga pemegang kekuasaan ‘legislatif’ dengan persetujuan DPR.
Dengan adanya dua kekuasaan yang dipegang oleh organ negara, Undang-undang
Dasar1945 jelas tidak menganut ajaran Trias Politica dan Montesquieu yang mengatakan bahwa didalam suatu negara
terdapat tiga kekuasaan yang terpisah datu sama lain.
Mostesquieu
dalam bukunya “L’Esprit des Lois”
(1748) membagi kekuasaan dalam negara ke dalam:
1) Kekuasaan
legislatif, dipegang oleh presiden dengan persetujuan DPR
Adalah
kekuasaan untuk membentuk dan menetapkan ketentuan-ketentuan bukan dalam bentuk
undang-undang yang berlaku dalam suatu negara
2) Kekuasaan
eksekutif, dipegang oleh Presiden
Adalah
kekuasaan melaksanakan undang-undang atau melaksanakan ketentuan-ketentuan
hukum dalam bentuk yang berlaku dalam suatu negara.
3) Kekuasaan
yudikatif, di pegang oleh Mahkamah Agung dan Badan-badan Peradilan lainnya.
Adalah
kekuasan yang di mana kekuasaan ini menjaga agar undang-undang,
peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan hukum lainnya benar-benar ditaati,
yaitu dengan jalan menjatuhkan sanksi pidana terhadap setiap pelanggaran hukum
atau undang-undang. Yudikatif juga bertugas untuk memutuskan dengan adil
sengketa-sengketa sipil yang dijatuhkan ke pengadilan untuk di putuskan. Tugasa
dari Yudikatif adalah mengawasi penerapan ketentuan-ketentuan hukum yang telah
asa dan menjatuhkan sanksi hukum bagi pelanggarnya menurut rasa keadilan di
dala peristiwa-peristiwa sengketa hukum yang konkret.
b.
Presiden
Penyelenggara Tertinggi Pemerintah Negara
Menurut Jellinek pemerintahan mengandung
dua arti, yaitu arti formal dan arti material. Pemerintahan dalam arti formal
mengandung kekuasaan mengatur dan kekuasaan memutus, sedangkan pemerintahan
dalam arti material berisi dua unsur memerintah dan unsur melaksanakan.
Pemerintahan dalam arti lembaga yang
menyelenggarakan pemerintahan sesuia dengan UUD 1945 adalah presiden.
Pengertian ini juga diperjelas oleh A. Hamid S. Altamimi dengan penjelasan
sebagai berikut:
“Dibawah
UUD 1945, yang di maksud dengan pemerintahan ialah orang yang dipimpin oleh
Presiden Republik Indonesia sebagai penyelenggaranya yang tertinggi, dengan
bagian-bagiannya terdiri dari Pemerintahan Pusat, Pemerintahan Daerah Tingkat
1, dan Pemerintah Daerah Tingkat II.”
Di dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang
Dasar 1945 ditentukan bahwa: “President Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-undang Dasar.”
Dengan demikian sesuai dengan UUD 1945 Presiden Republik Indonesia
selain memegang kekuasaan pemerintahan , ia juga penyelenggara tertinggi
Pemerintahan Negara. Dengan demikian, seluruh tugas dan fungsi dari Negara
Republik Indonesia berada di tangan Presiden, dan Presiden juga lah
penyelenggara Tertinggi.
c.
Presiden
penyelenggara pemerintahan dan perundang-undangan
Berpegang pada pendapat Jellinek dan juga teori van
Vollenhoven, maka Presiden Republik Indonesia yang dinyatakan memegang
kekuasaan pemerintahan mempunyai arti bahwa, presiden itu bertugas
menyelenggarakan pemerintahan termasuk juga pengaturan. Sebagai penyelenggara
pemerintahan, presiden dapat membentuk peraturan perundang-undangan yang
diperlukan, dan juga merupakan pemegang kekuasaan pengaturan di negara Republik
Indonesia.
Fungsi pengaturan iini terlihat dalam pembentukan
Undang-undang dengan persetujuan DPR, sesuai pasal 5 ayat (1) UUD 1945,
pembentukan peraturan pemerintahan berdasarkan pasal 5 ayat (2) UUD 1945,
pembentukan peraturan pemerintah pengganti Undang-undang berdasarkan pasal 22
ayat (1) UUD 1945 yang merupakan perundang-perundangan yang disebut secara
langsung UUD 1945, dan pembentukan keputusan Presiden yang merupakan peraturan
perundang-undangan yang berasal dari ketentuan pasal 4 ayat (1) UUD 1945.
d.
Presiden
Pemegang Kekuasaan Membentuk Undang-undang dengan persetujuan dewan perwakilan
rakyat
Dalam pasal 5
ayat (1) UUD 1945 (sebelum perubahan) dirumuskan sebagai berikut:
“Presiden pemegang kekuasaan membentuk undang-undang
dengan persetujuan dewan perwakilan rakyat”.
Penjelasan mengenai pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yaitu:
“Presiden sama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat menjalankan legislatif power
dalam negara”. Jadi dapat ditafsirkan bahwa kekuasaan membentuk undang-undang
itu ada di tangan presiden, sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai fungsi
memberikan persetujuan dalam arti menerima atau menolak setiap rancangan
undang-undang yang diajukan oleh presiden.
e.
Dewan
Perwakilan Rakyat Memberi Persetujuan Setiap Rancangan Undang-Undang
Apabila melihat dari rumusan pasal 5 ayat 1 UUD 1945
dan penjelasannya, serta uraian pada sub bab D tersebut, maka pertanyaan
selanjudnya yang timbul adalah, apakah yang dimaksud dengan perkataan ‘dengan persetujuan perwakilan rakyat’
tersebut?
Kalimat denga
persetujuan perwakilan rakyat apabila dihubungkan dengan penjelasan dari
pasal 20 ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan “Dewan
ini harus memberi persetujuannya kepada tiap-tiap rancangan undang-undang dari
pemerintah” , ini berarti bahwa Dewan perwakilan rakyat harus setuju
terhadap semua rancangan undang-undang dari pemerintah. Kalimat ini diartiakan
bahwa setiap rancangan-rancangan undang-undang dari pemerintah itu tidak boleh
dikesampingkan, tetapi Dewan perwakilan rakyat haruslah memberikan sesuatu
kesepakatan atau consent dalam arti
menolak atau menerima rancangan-rancangan undang-undang tersebut. Demikian perkataan
dengan persetujuan Dewan perwakilan Rakyat itu seharusnya diartikan dengan
kesepakatan Dewan perwakilan Rakyat atau dengan persesuaian Dewan perwakilan
rakyat.
f.
Hakikat
Undang-undang Menurut Rousseau ( kebenaran mutlak )
Meurut Rousseau, tokoh yang mengetengahkan Teori
kedaulatan rakyat mengatakan bahwa tujuan negara itu adalah untuk menegakkan
hukum dan menjamin kebebasan dari para warganegaranya, dalam pengertian bahwa
kebebasan dalam batasan-batasan perundang-undang dalam hal ini, pembentukan undang-undang
adalah menjadi hak rakyat sendiri untuk membentuknya, sehingga undang-undang
itu merupakan dari kemauan atau kehendak rakyat.
Menurut Rousseau suatu undang-undang itu harus
dibentuk oleh kehendank umum, dimana dalam hal ini seluruh rakyat secara langsung
mengambil bagian dalam pembentukan aturan masyarakat dalam perantara
wakil-wakil.
Di negara
Republik Indonesia, kemauan rakyat itu di serahkan kepada lembaga Tertinggi
yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang kemudian menyerahkan pelaksanaan dari
kedaulatan itu kepada Presiden sebagai Mandratasinya,yang kemudian melaksanakan
kedaulatan tersebut dengan membentuk peraturan perundang-undangan, yang salah
satunya membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan perwakilan Rakyat.
g.
Cita Negara
dan Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia
Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas
Hukum, dengan rumusan Rechtsstaat
sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945, dan rumusan ini dilandasi dengan
Undang-undang Dasar 1945, dan rumusan ini dilandasi oleh Cita Negara
Integralistik.
Paham Cita
Negara Integralistik ini di Indonesia diperkenalkan oleh Seopomo, pada saat
bangsa Indonesia mempersiapkan pembentukan Negara Indonesia. Dalam rapat Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 31 Mei
1945, Seopomo mengatakan: “Jika kalau
kita hendak membicarakan tentang dasar sistem pemerintahan yang hendak kita
pakai untuk negara Indonesia, maka dasar sistem pemerintahan itu tergantung
pada Staatsidee, kepada negara yang hendak kita pakai untuk pembangunan Negara
Indonesia, Menurut dasar apa negara Indonesia akan didirikan”.
Dari uraian diatas menjadi jelas bahwa Seopomo
mengetengahkan faham cita negara ke dalam kehidupan negara yang akan di bentuk,
dan juga menunjukkan bahwa cita negara sebagai dasar pembentukan negara (dalam
hal ini harus dibedakan antara pengertian “dasar pembentukan negara” dan “dasar
negara”). Dasar negara kita adalah Pancasila. Cita negara itu peranannya
demikian menentukan terhadap susunan negara dan proses kehidupan negara.
Pendapat Seopomo mengenai Cita Negara Integralistik
ini disetujui oleh Rapat Besar Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 14 Juni 1945. Cita Negara Indonesia yang
oleh Seopomo diberi nama Cita “Negara Persatuan” itu kemudian dituangkan dalam
pokok pikiran pertama Pembukaan UUD 1945.
A.Hamid S. Attamimi berpendapat bahwa sebaiknya
untuk selanjudnya tidak lagi digunakan istilah “cita negara integralistik” atau
“cita negara totaliter” yang untuk beberapa orang dapat mengundang salah paham,
melainkan “cita negara kekeluargaan” atau “cita negara persatuan” oleh Seopomo
sendiri mempersamakan arti istilah-istilah tersebut dan menggunakanya secara
bergantian.
h.
Lembaga-lembaga
Negara Lainnya
Dalam Undang-undang Dasar 1945 masih mengenal 4
lembaga negara lain, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan pertimbangan Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Agung.
Menurut Prayudi Atsmosudirdjo, kekuasaan negara atau
dengan istilah susunan penguasa negara adalah sebagai berikut:
1)
Penguasa
Konstitusif = MPR
2)
Penguasa
Legislatif = Presiden + Dewan Perwakilan Rakyat
3)
Penguasa
Eksekutif = Pemerintah =Presiden (dengan dibentuk oleh pejabat-pejabat
pemerintah)
4)
Penguasa
Administratif = Administrator Negara = presiden (dengan mengeplai Administrasi
Negara)
5)
Penguasa
militer = Presiden, dengan membawahi Angkatan Perang
6)
Pemerintah
yudikatif = Mahkamah Agung, dengan membawahi Aparatur Yudikatif = Mahkamah
Agung, dengan membawahi Aparatur peradilan (Korsa Hakim)
7)
Penguasa
Konsultatif = Dewan pertimbangan Agung
8)
Penguasa
Inspektif = Badan pemeriksa Keuangan
2. Lembaga-lembaga
Negara dan perundang-undangan (sesudah perubahan UUD 1945 )
a.
Sistem
Pemerintahan Negara Republik Indonesia (berdasarkan UUD 1945 sesudah perubahan).
Perubahan
UUD 1945 yang telah di lakukan sebanyak empat kali secara berturut-turut
a) Pertama
Tanggal 19 Oktober 1999
b) Kedua
tanggal 18 Agustus 2000
c) Ketiga
tanggal 9 November 2001
d) Keempat
tanggal 10 Agustus 2002
Yang
telah membawa dampak yang besar terhadap perubahan sistem pemerintahan di
Negara Republik Indonesia.
Sesuai
dengan Perubahan UUD 1945 tentang sistem pemerintahan Negara sesudah Perubahan
UUD 1945 sebagai berikut:
a) Menurut
pasal 1 ayat (3) UUD 1945 perubahan, “Negara
Indonesia adalah negara hukum”,adanya prinsip pemerintahan yang berdasarkan
atas sistem Konstitusi (hukum dasar).
II. Kekuasaan negara yang tertinggi adalah di
tangan rakyat, sesuai dengan rumusan Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 perubahan yang
menetap bahwa, “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar,
III. Majelis Permusyawaratan rakyat terdiri dari
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan perwakilan Daerah yang
dipilih melalui pemilihan umum, dan mempunyai kewenang untuk:
1) Mengubah
dan menetapkan Undang-undang Dasar
2) Melantik
Presiden dan Wakil Presiden
3) Memberhentikan
Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-undang Dasar,
sesuai pasal 3 UUD 1945 Perubahan.
4) Memilih
Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan, dan
5) Memilih
Presiden dan Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan, sesuai pasal 8 ayat
(2) dan ayat (3) UUD 1945
IV.
Presiden adalah penyelenggara Pemerintahan Negara yang tertinggi di Indonesia,
sesuai dengan pasal 4 ayat (1) UUD 1945 perubahan yang menetapkan bahwa,
“Presiden Republlik Indonesia memegang kekuasaan Pemerintahan menurut
Undang-undang Dasar
Selain
itu, dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah
ditangan Presiden, hal ini berhubungan erat dengan merumuskan Pasal 6A UUD
1945, perubahan yang menetapkan, Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam
suatu pasangan secara langsung oleh rakyat.
V. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan
Perwakilan Rakyat. Menurut Pasal 5 ayat (1) UUD perubahan, Presiden berhak mengejukan rancangan Undang-undang kepada Dewan
Perwakilan Rakyat. Berdasarkan pasal 20 ayat (1) UUD 1945 Perubahan, Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk Undang-undang, namun dalam membentuk Undang-Undang Dewan Perwakilan
Rakyat harus membahas bersama Presiden dan mendapat persetujuan dari Presiden,
sesuai pasal 20 ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945 perubahan.
Menurut
pasa 20A UUD 1945 perubahan, Dewan
Perwakilan Rakyat juga memilliki fungsi legislatif, fungsi anggaran, dan fungsi
pengawasan, memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat,
sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat juga mempunyai hak mengajukan pertanyaan,
menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.
Dengan
memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam pasal tersebut, maka Presiden
seharusnya bekerja bersama-sama dengan Dewan, akan tetapi Presiden tidak
bertanggung jawab kepada Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung
kepada Dewan.
VI.
Mentri Negara adalah pembantu Presiden, Mentri tidak bertanggung jawab kepada
Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam pasal 17 UUD 1945 perubahan antara lain
ditetapkan bahwa:
a) Presiden
dibantu oleh mentri-mentri negara
b) Mentri-mentri
itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
c) Setiap
mentri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan[1]
VIII. Kekuasaan
Kepala negara tidak terbatas.
Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat
adalah kuat. Dewan ini tidak bisa dibubarkan
oleh Presiden, hal ini ditegaskan bahwa pasal 7C UUD 1945 perubahan,
yang menyatakan bahwa, presiden tidak dapat membekukan atau membubarkan, Dewan
Perwakilan Rakyat.
Menurut
pasal 2 ayat 1 UUD 1945 perubahan, anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Daerah semuanya merangkap menjadi anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Sesuai ketentuan dalam pasal 7A dan pasal 7B serta
Pasal 20A UUD 1945 perubahan, Dewan Perwakilan Rakyat dapat senantiasa
mengawasi tindakan-tindakan Presiden, sehingga apabila Dewan Perwakilan Rakyat menganggap bahwa Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila
terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden, yang telah ditetapkan
oleh Undang-undang Dasar, maka memalui keputusan Mahkamah Konstitusi Dewan Perwakilan Rakyat
dapat mengusulkam pemberhentian Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Seperti dalam sistem pemerintahan negara sebelum perubahan UUD 1945, maka
Mentri-mentri negara bukan pegawai biasa. Meskipun kedudukan Mentri negara
tergantung dari pada Presiden, akan tetapi mereka bukan pegawai tinggi biasa,
oleh karena Mentri-mentrilah yang terutama menjalankan kekuasaan Pemerintah
dalam prateknya.
Sebagai
pemimpin Departemen, Mentri mengetahui seluk-beluk hal-hal yang mengenai
lingkungan pekerjaan. Berhubungan dengan itu Mentri mempunyai pengaruh besar
terhadap Presiden dalam menentukan politik negara yang mengenai Departemennya.
Untuk menentukan politik Pemerintahan dan koordinasi dalam Pemerintahan Negara,
para Mentri bekerja bersama satu sama lain seerat-eratnya di bawah pimpinan
Presiden.
b. Presiden Penyelenggara Pertinggi Pemerintahan Negara
Di dalam pasal 4
ayat 1 UUD 1945 (sebelum dan sesudah perubahan) dirumuskan bahwa:
“Presiden Republik
Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar”
Pasal tersebut
merupakan salah satu pasal yang tidak dilakukan perubahan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Dengan demikian rumusan pasal tersebut mempunyai makna
yang sama dengan semula (sebelum perubahan UUD 1945), sehingga Presiden adalah
Kepala pemerintahan di Negara Republik Indonesia
Sesudah perubahan
UUD 1945, Presiden Republik Indonesia adalah tetap sebagai penyelenggara
Tertinggi Pemerintahan Negara, yang menjalankan seluruh tugas dan fungsi
pemerintah dalam arti luas yang menyangkut ketataprajaan, keamanan, dan
pengaturan.
Sesudah perubahan
UUD 1945 presiden dipilih secara langsung oleh rakyat sesuai dengan pasal 6A
UUD 1945 perubahan, sehingga kedudukan presiden sesudah perubahan UUD 1945
sebenarnya lebih kuat dari pada sebelum perubahan UUD 1945. Saat ini, sesudah
perubahan UUD 1945, Presiden langsung mendapat mandat dari rakyat, sedangkan
sebelum perubahan UUD 1945 presiden mendapat mandat dari rakyat melalui Majelis
Pemusyawaratan Rakyat.
c. Presiden Penyelenggara
pemerintahan dan Perundang-undangan
Sebagai
penyelenggara pemerintahan, presiden dapat membentuk praturan
perundang-undangan yang diperlukan, oleh karena presiden juga merupakan
pemegang kekuasaan pengaturan di Indonesia.
Fungsi pengaturan ini
terlihat dalam pembentukan Undang-undang bernama DPR sesuai pasal 20 ayat 2,
ayat 3 dan ayat 4 UUD 1945 perubahan, pembentukan peraturan Pemerintah
berdasarkan pasal 5 ayat 2 UUD 1945 (sebelum dan sesudah perubahan),
pembentukan peraturan pemerintahan pengganti Undang-undang (PERPU) berdasarkan
pasal 22 ayat 1 UUD 1945 (sebelum dan sesudah perubahan), yang merupakan
peraturan perundang-undangan yang disebut secara langsung oleh UUD 1945, dan
juga pembentukan keputusan Presiden yang merupakan peraturan Perundang-undangan
yang berasal dari ketentuan pasal 4 ayat 1 UUD 1945 (sebelum dan sesudah
perubahan)
d. Dewan Perwakilan Rakyat Memegang Kekuasaan Membentuk Undang-Undang Bersama Presiden
Dalam pasal 5 ayat 1
UUD 1945 perubahan dirumuskan sebagai Berikut:
“Presiden memegang
kekuasaan membentuk Undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”
Sedangkan pasal 20 UUD
1945 perubahan, menetapkan:
1) Dewan
perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-undang.
2) Setiap
rancangan Undang-undang di bahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden
untuk membantu persetujuan bersama
3) Jika
rancangan Undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan
Undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan
Rakyat masa itu.
4) Presiden
mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi
undang-undang.
5) Dalam
hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak
disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang
tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang
dan wajib diundangkan.
Apabila
membaca perumusan dari pasal 5 ayat (1) UUD 1945 perubahan, dapat ditafsirkan
bahwa Presiden hanya berhak untuk mengajukan rancangan undang-undang usul
inisiatif kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Akan
tetapin jika pasal 5 ayat (1) UUD 1945 perubahan tersebut dihubungkan dengan
pasal 20 ayat (2) UUD 1945 perubahan yang menetapkan bahwa, “setiap rancangan Undang-undang dibahas oleh
Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”.
Yang
mempunya makna agar didalam pembentuk undang-undang Dewan Perwakilan Rakyat
harus melaksanakannya dengan persetujuan, atau dengan berbarengan, serentak,
bersama-sama dengan Presiden. Agar undang-undang itu dapat terbentuk, kedua
kewenangan tersebut dilaksanakan bersama-sama, oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden. Berdasarkan Uraian di atas, terlihat bahwa sesudah perubahan UUD 1945
kewenangan Presiden dalam pembentukan Undang-undang tidak jauh berbeda dengan
sebelum Perubahan UUD 1945.
e. Lembaga-lembaga
Negara Lainnya
Selain
lembaga-lembaga negara yang berhubungan dengan pembentukan perundang-undangan,
yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, yang berwenang membentuk
Undang-undang masih terdapat lembaga-lembaga negara lainnya yang mempunyai
fungsi tertentu dalam penyelenggaraan kekuasaan negara di Indonesia.
Secara
keseluruhan yang dianggap sebagai Lembaga-lembag Negara menurut Perubahan UUD
1945 adalah:
1) Majelis
Pemusyawaratan Rakyat
2) Dewan
Perwakilan Rakyat
3) Dewan
Perwakilan Daerah
4) Presiden
5) Mahkamah
Agung
6) Mahkamah
Konstitusi
7) Komisi
Yudisial, dan
8)
Badan Pemeriksa keuangan[2]
B. Peraturan perundang-undangan ( dari masa ke masa )
1.
Devenisi
Pengertian dari peraturan perundang-undangan itu sendiri diatur
atau dimuat dalam Pasal 1 angka 2 UU No.12 Tahun 2011 tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan. Adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum
yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau
pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan.[3]
2.
Hierarki
peraturan perundang-undangan
Ø Undang – undang dasar negara republik Indonesia tahun 1945.
Ø Ketetapan majelis permusyawaratan rakyat.
Ø Undang-undang atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
Ø Peraturan pemerintah.
Ø Peraturan presiden.
Ø Peraturan daerah Privinsi dan
Ø Peraturan daerah Kabupaten atau kota.[4]
3.
Asas-asas
pembentukan Peraturan perundang-undangan
Untuk memahami asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik, dapat dimulai dari pengertian tentang asas hukum. Berikut
dikemukakan pandangan para ahli tentang asas hukum.
1)
P. Scholten
Menjelaskan bahwa :
“ Asas hukum bukanlah sebuah aturan hukum ( rechtsregel ). Untuk
dapat dikatakan sebagai aturan hukum, sebuah asas hukum adalah terlalu umum,
sehingga ia atau sama sekali tidak atau terlalu banyak berbicara ( of niets
of veel te veel zeide ). Penerapan asas hukum secara lansung melalui jalan subsumsi
atau pengelompokan sebagai aturan tidak mungkin, karena untuk itu lebih
dahulu perlu dibentuk isi yang lebih kongkret.
Selanjutnya
Paul Scholten, juga menguraikan pengerian asas hukum sebagai :
( grondgedachen, die in en acher ieder in wetsvoorschriften en
rechterlike uitspraken belichaamd rechtssysteem liggen, waarvan de bijzondeere
bepalingen en beslissingen als uit werkingen kunnen worden gedacht “ ).
Pikiran – pikiran dasar yang terdapat dalam dan di belakang sistem
hukum masing- masing dirumuskan dalam aturan perundang- undang, dan putusan-
putusan hakim, yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan
keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.[5]
Dengan perkataan lain, asas hukum bukanlah hukum, namun hukum tidak akan dapat
dimengerti tanpa asas-asas hukum. P. Scholten juga mengemukakan, menjadi tugas
ilmu pengetahuan hukum untuk menelusuri dan mencari asas hukum itu dalam hukum
positif.
2)
Sudikno
Mertokusumo mengemukakan, bahwa :
“ Asas hukum
atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkret, melainkan merupakan
pikiran dasar yang umum sifatnyaatau merupakan latar belakang dari peraturan
kongkret yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma
dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum
positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat umum dari peraturan yang
kongkret tersebut. Fungsi ilmu hukum adalah mencari asas hukum ini dalam hukum
positif.
4.
Teori
perundang-undangan
Pembentukan peraturan perundang-undangan pada hakikatnya ialah
pembentukan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan bersifat umum dalam arti yang luas. Peraturan
perundang-undangan adalah peraturan pemerintah yang tertulis yang berisi
petunjuk atau pola tingkah laku yang bersifat mengikat secara umum. Bersifat
dan berlaku secara umum, maksudnya tidak mengindetifikasikan individu tertentu,
sehingga berlaku bagi setiap subjek hukum yang memenuhi unsur-unsur yang
terkandung dalam ketentuan mengenai tingkah laku tersebut. Pada kenyataanya,
terdapat juga peraturan perundang- undang seperti undang- undang yang berlaku untuk kelompok
orang- orang tertentu, objek tertentu, daerah dan waktu tertentu. Dengan
demikian mengikat secara umum pada saat ini sekedar menunjukkan tidak menentukan ssecara konret (
nyata ) identitas individu atau objeknya.
5.
Bentuk
peraturan perundang-undangan
Didalam kesempatan kali ini kita akan membahas bentuk – bentuk
perundangan –undangan dari segi pengelompokan masanya, yaitu pada masa hindia
belanda dan kedudukan jepang, serta pasca kemerdekaan Indonesia
a)
Peraturan
perundang- undangan zaman Hindia Belanda dan masa pendudukan Jepang
Di zaman Belanda, bentuk – bentuk peraturan yang dikenal melputi
lima tingkatan, yaitu :
i.
Undang-undang
dasar kerajaan Belanda
ii.
Undang-undang
Belanda atau wet
iii.
Ordonantie yaitu peraturan yang ditetapkan oleh Gubernur jendral Hindia
Belanda bersama-sama dengan Dewan Rakyat di Jakarta sesuai dengan Titah Ratu
kerajaan Belanda di Den Haag.
iv.
Regerings Verordening
atau RV, yaitu peraturan pemerintah yang ditetapkan oleh Gubernur
Jendral untuk melaksanakan undang-undang atau wet dan
v.
Peraturan
daerah swantantra ataupun daerah swapraja[6]
Di dalam uraian lain, sebagaimana dikemukakan oleh CST Kansil,
peraturan perundang- undangan pada masa Hindia Belanda, yang dianggap sebagai
undang- undang dasarnya adalah wet.
Perturan perundang-undangan yang diatur dalam Indische
Staatsregeling ( IS ), meliputi :
1)
Ordonantie , berdasarkan ketentuan Pasal 82 IS, bahwasanya Gubernur Jendral
dengan persetujuan Volksraad, menetapkan Ordonantie menegenai
pokok-pokok persoalan yang menyangkut Nederlands Indie kecuali apabila
ditentukan lain dalam Grondwet ( UUD ) atau wet ( undang-undang
).
2)
Regeringsverordening,
disingkat R.V Gubernur jendral dapat menetapkan peraturan
pemerintah yang berisi peraturan untuk melaksanakan wetten, Algemene
maatregel van bestuur ( perauran
pusat yang ditetapkan Raja, disingkat AMVB ), dan Ordonantie apabila itu
harus dilakukan olehnhya. Peraturan pemerintah itu dapat menetapkan pidana
terhadap pelanggaran yang akan diatur dalam Ordonantie . sedangkan
keputusan pemerintah tetap dapat dikeluarkan untuk pengaturan yang bersifat
administratif.
Pada
masa pendudukan Jepang, pemerintahan sipilnya dilakukan oleh penguasa militer (
Gunseikan ) . kemudian semenjak 1
September 1943, dilakukan oleh Seikosikikan. Peraturan yang dikeluarkan
oleh penguasa militer disebut dengan Osamu Kanrei , sedangkan peraturan yang
dikeluarkan oleh Seikosikikan selanjutnya disebut dengan Osamu Seirei
. Pada masa Jepang, kedua bentuk peraturan tersebut diundangkan kedalam
lebaran yang disebut dengan Kanpo.[7]
b)
Peraturan
perundang-undangan pasca kemerdekaan
1)
Masa Orde Lama
( 1945-1965 )
Peraturan perundang-undangan yang
dikenal dalam Undang-Undang Dasar 1945 ( masa 17 Agustus 1945- 17 Agustus 1950
), dan diberlakukan kembali berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dalam
beberapa pasal disebutkan, peraturan perundang-undangan terdiri atas :
Undang-Undang ( pasal 5 ayat (1), juncho. Pasal 20 ayat (1 ) ; peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang- undang ( pasal 22 ) dan peraturan
pemerintah ( pasal 5 ayat (2) ).
Akan tetapi, kemudian dalam
prakteknya ( antara tahun 1945-1949 ) juga dijumpai berbagai jenis peraturan
perundang-undangan lain, seperti : penetapan presiden, peraturan presiden,
penetapan pemerintah, maklumat pemerintah, maklumat presiden ( wakil presiden
).
Dalam konstitusi Republik Indonesia
Serikat ( KRIS ) yang berlaku mulai tanggal 27 Desember 1949, bentuk- bentuk
peraturan yang tegas disebut adalah ; Undang- undang Federal, Undang-Undang
Darurat, dan peraturan pemerintah, sedangkan dalam UUDS yang berlaku mulai
tanggal 17 agustus 1950, penyebutannya berubah menjadi Undang-Undang Darurat,
dan peraturan pemerintah.
Setelah periode kembali ke UUD 1945,
berdasarkan surat presiden No. 2262/HK/1959 tertanggal 20 Agustus 1959, yang
ditujukan kepada dewan perwakilan gotong royong ( DPRGR ), dinyatakan bahwa
disamping bentuk peraturan perundang-undangan yang ada didalam undang-undang
dasar ( UUD 1945 ), dikeluarkan pula bentuk- bentuk peraturan yang lain yaitu :
a. penetapan presiden, untuk
melaksanakan Dekrit Presiden/ panglima tertinggi angkatan perang tanggal 5 juli
1959 tentang kemnalinya kepada UUD 1945.
b. peraturan presiden yaitu,
peraturan yang dikeluarkan untuk melaksanakan penetapan presiden, ataupun
peraturan yang dikeluarkan berdasarkan Pasa 4 ayat 1 ( UUD 1945.
c. peraturan pemerintah, yaitu untuk
melaksanakan peraturan presiden sehingga berbeda pengertiannya dengan peraturan
pemerintah yang dimaksud dalam pasal 5 ayat ( 2 ) UUD 1945.
d. keputusan presiden, yang dimaksudkan untuk melakukan atau
meresmikan pengangkatanp pengangkatan.
e. Peraturan menteri dan keputusan
menteri, yang dibuat oleh kementrian –
kementrian negara atau depar temen departemen pemerintahan, masing- masing
mengatur sesuatu hal untuk melakukan atau meresmikan pengangkatan-
pengangkatan.
2)
Orba (
1966-1998 )
Selanjutnya
berdasarkan ketetapan majelis permusyawaratan rakyat sementara nomor
XX/MPRS/1966, ditentukan bentuk peraturan dengan urutan sebagai berikut :
a.
Undang-Undang Dasar
b. Ketetapan
MPR
c.
Undang-Undang / Perpu
d.
Peraturan pemerintah
e.
Keputusan presiden dan / intruksi dari presiden
f.
peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya, seperti ; peraturan menteri, intruksi
menteri, dan lain- lain.
Terkususnya bagi ketetapan MPRS ini ( nomor XX/MPRS/1966 ) ini,
yang rentang masa keberlakuannya bertahan lama, pada kenyataannya jamak
diketemui kelemahan yang mendasar, yang selanjutnya menjadikan sebagai argumen
untuk perubahan Tap MPRS terssebut.
Mungkin itu saja yang dapat kami sampaikan didalam makalah kami,
berkaitan dengan lembaga dan sistem kekuasaan pada masa sebelum amandemen UUD
1945 dan setelah diamandemenkannya UUD 1945, serta penjelasan tentang sistem
peraturan perundang- undangan di Indonesia
dari masa Orde lama, dan Orde baru.
[1] Maria
Farida Indrati Seoprapto, Ilmu
Perundang-undangan dasar-dasar dan pembentukannya,(Yogyakarta:Kanisius,2005)
hal 21
[2] Maria
Farida Indrati Seoprapto, Ilmu
Perundang-undangan dasar-dasar dan pembentukannya,(Yogyakarta:Kanisius,2005)
hal
[3] Duwi
Handoko, dekriminalisasi terhadap delik-delik dalam KUHP, Pekan Baru
,Hawa dan Ahwa, 2015. Hal. 16
[4] Pasal 7 UU No.12 Tahun 2011, tentang
pembuatan peraturan perunndang-undangan
[5]
Yuliandri, Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, jakarta,
PT Raja grafindo, 2014 hal. 19
[6]
Yuliandri, Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, jakarta,
PT Raja grafindo, 2014 hal. 50-51
[7]
Yuliandri, Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, jakarta,
PT Raja grafindo, 2014 hal. 51-52
Tidak ada komentar:
Posting Komentar