Senin, 08 Juli 2019

“Susunan Lembaga Negara dan Sistem Penyelenggaraan Kekuasaan Negara Serta Peraturan Perundang-undangan “



A.    Susunan lembaga negara dan sistem penyelenggaraan kekuasaan negara ( sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945 ).
1.      Lembaga Negara dan Perundang-undangan (sebelum perubahan UUD 1945)
a.       Sistem pemerintahan negara Indonesia
Negara Republik Indonesia didirikan di atas dasar teori bernegara Indonesia yang tumbuh dari kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan bangsa Indonesia sendiri. Sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945, Indonesia ialah suatu negara yang berdasarkan hukum (Rechtsstaat) , dengan pengertian bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari negara berdasarkan hukum pada umumnya (genus begrip), namun disesuaikan dengan keadaan di Indonesia, dengan menggunakan ukuran baik pandangan hidup maupun pandangan bernegara bangsa Indonesia.
            Apabila kita melihat pada Undang-Undang Dasar 1945, di dalamnya ditegaskan bahwa pokok-pokok sistem pemerintah negara kita adalah :
I.                   Negara Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtstaat).
II.                Pemerintahan berdasarkan atas sistem Kostitusi (Hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan tidak terbatas)
III.             Kekuasaan negara tertinggi ditangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Die gesamte Staatgewalt leigt allein bei der Majelis). Kedaulatan Rakyat dipegang oleh suatu badan, bernama Majelis Permusyawaratan. Rakyat sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Majelis ini menetapkan Undang-undang Dasar dan menetapkan garis-garis besar haluan negara. Majelis juga mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara-negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis.
IV.             Presiden ialah penyelenggara Pemerintahan Negara yang tertinggi di bawah Majelis. Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi. Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah ditangan Presiden (concentration of power and responsibility upon the President).
V.                Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk membentuk Undang-undang dan untuk menetapkan anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
VI.             Mentri negara ialah pembantu Presiden. Mentri negara tidak bertanggung jawab kepada Dewan perwakilan rakyat. Presiden mengangkat dan memberhentikan mentri-mentri negara. Mentri-mentri itu tidak bertanggung jawab kepada Dewan perwakilan Rakyat. Kedudukannya tidak tergantung pada Dewan, tetapi tertangtung pada presiden. Mereka adalah pembantu Presiden.
VII.          Dewan perwakilan rakyat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden, jika Dewan menganggap bahwa presiden melanggar haluan negara yang telah ditetapkan Undang-undang Dasar, maka dapat di persidangan istimewa agar diminta pertanggung jawabannya.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya mengenai sistem pemerintahan negara tersebut, yang menetapkan bahwa presidenlah yang menjalankan garis-garis besar haluan negara yang telah ditetapkan oleh MPR, dan presiden mempunyai kekuasaan membentuk Undang-undang dengan persetujuan DPR. Dengan begitu presiden memegang kekuasaan pemerintahan dalam arti eksekutif dan di samping itu juga pemegang kekuasaan membentung Undang-undang (dalam arti kekuasaan legislatif) dengan persetujuan DPR.
Denga kata lain Presiden sebelum perubahan UUD 1945 adalah pemegang kekuasaan ‘eksekutif’ dan juga pemegang kekuasaan ‘legislatif’ dengan persetujuan DPR. Dengan adanya dua kekuasaan yang dipegang oleh organ negara, Undang-undang Dasar1945 jelas tidak menganut ajaran Trias Politica dan Montesquieu  yang mengatakan bahwa didalam suatu negara terdapat tiga kekuasaan yang terpisah datu sama lain.
Mostesquieu dalam bukunya “L’Esprit des Lois” (1748) membagi kekuasaan dalam negara ke dalam:
1)      Kekuasaan legislatif, dipegang oleh presiden dengan persetujuan DPR
Adalah kekuasaan untuk membentuk dan menetapkan ketentuan-ketentuan bukan dalam bentuk undang-undang yang berlaku dalam suatu negara
2)      Kekuasaan eksekutif, dipegang oleh Presiden
Adalah kekuasaan melaksanakan undang-undang atau melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum dalam bentuk yang berlaku dalam suatu negara.
3)      Kekuasaan yudikatif, di pegang oleh Mahkamah Agung dan Badan-badan Peradilan lainnya.
Adalah kekuasan yang di mana kekuasaan ini menjaga agar undang-undang, peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan hukum lainnya benar-benar ditaati, yaitu dengan jalan menjatuhkan sanksi pidana terhadap setiap pelanggaran hukum atau undang-undang. Yudikatif juga bertugas untuk memutuskan dengan adil sengketa-sengketa sipil yang dijatuhkan ke pengadilan untuk di putuskan. Tugasa dari Yudikatif adalah mengawasi penerapan ketentuan-ketentuan hukum yang telah asa dan menjatuhkan sanksi hukum bagi pelanggarnya menurut rasa keadilan di dala peristiwa-peristiwa sengketa hukum yang konkret.


b.      Presiden Penyelenggara Tertinggi Pemerintah Negara
Menurut Jellinek pemerintahan mengandung dua arti, yaitu arti formal dan arti material. Pemerintahan dalam arti formal mengandung kekuasaan mengatur dan kekuasaan memutus, sedangkan pemerintahan dalam arti material berisi dua unsur memerintah dan unsur melaksanakan.
Pemerintahan dalam arti lembaga yang menyelenggarakan pemerintahan sesuia dengan UUD 1945 adalah presiden. Pengertian ini juga diperjelas oleh A. Hamid S. Altamimi dengan penjelasan sebagai berikut:
Dibawah UUD 1945, yang di maksud dengan pemerintahan ialah orang yang dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia sebagai penyelenggaranya yang tertinggi, dengan bagian-bagiannya terdiri dari Pemerintahan Pusat, Pemerintahan Daerah Tingkat 1, dan Pemerintah Daerah Tingkat II.”
Di dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 ditentukan bahwa: “President Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar.”  Dengan demikian sesuai dengan UUD 1945 Presiden Republik Indonesia selain memegang kekuasaan pemerintahan , ia juga penyelenggara tertinggi Pemerintahan Negara. Dengan demikian, seluruh tugas dan fungsi dari Negara Republik Indonesia berada di tangan Presiden, dan Presiden juga lah penyelenggara Tertinggi.
c.       Presiden penyelenggara pemerintahan dan perundang-undangan
Berpegang pada pendapat Jellinek dan juga teori van Vollenhoven, maka Presiden Republik Indonesia yang dinyatakan memegang kekuasaan pemerintahan mempunyai arti bahwa, presiden itu bertugas menyelenggarakan pemerintahan termasuk juga pengaturan. Sebagai penyelenggara pemerintahan, presiden dapat membentuk peraturan perundang-undangan yang diperlukan, dan juga merupakan pemegang kekuasaan pengaturan di negara Republik Indonesia.
Fungsi pengaturan iini terlihat dalam pembentukan Undang-undang dengan persetujuan DPR, sesuai pasal 5 ayat (1) UUD 1945, pembentukan peraturan pemerintahan berdasarkan pasal 5 ayat (2) UUD 1945, pembentukan peraturan pemerintah pengganti Undang-undang berdasarkan pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang merupakan perundang-perundangan yang disebut secara langsung UUD 1945, dan pembentukan keputusan Presiden yang merupakan peraturan perundang-undangan yang berasal dari ketentuan pasal 4 ayat (1) UUD 1945.

d.      Presiden Pemegang Kekuasaan Membentuk Undang-undang dengan persetujuan dewan perwakilan rakyat
 Dalam pasal 5 ayat (1) UUD 1945 (sebelum perubahan) dirumuskan sebagai berikut:
“Presiden pemegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan dewan perwakilan rakyat”.
Penjelasan mengenai pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yaitu: “Presiden sama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat menjalankan legislatif power dalam negara”. Jadi dapat ditafsirkan bahwa kekuasaan membentuk undang-undang itu ada di tangan presiden, sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai fungsi memberikan persetujuan dalam arti menerima atau menolak setiap rancangan undang-undang yang diajukan oleh presiden.
e.       Dewan Perwakilan Rakyat Memberi Persetujuan Setiap Rancangan Undang-Undang
Apabila melihat dari rumusan pasal 5 ayat 1 UUD 1945 dan penjelasannya, serta uraian pada sub bab D tersebut, maka pertanyaan selanjudnya yang timbul adalah, apakah yang dimaksud dengan perkataan ‘dengan persetujuan perwakilan rakyat’ tersebut?
Kalimat denga persetujuan perwakilan rakyat apabila dihubungkan dengan penjelasan dari pasal 20 ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan “Dewan ini harus memberi persetujuannya kepada tiap-tiap rancangan undang-undang dari pemerintah” , ini berarti bahwa Dewan perwakilan rakyat harus setuju terhadap semua rancangan undang-undang dari pemerintah. Kalimat ini diartiakan bahwa setiap rancangan-rancangan undang-undang dari pemerintah itu tidak boleh dikesampingkan, tetapi Dewan perwakilan rakyat haruslah memberikan sesuatu kesepakatan atau consent dalam arti menolak atau menerima rancangan-rancangan undang-undang tersebut. Demikian perkataan dengan persetujuan Dewan perwakilan Rakyat itu seharusnya diartikan dengan kesepakatan Dewan perwakilan Rakyat atau dengan persesuaian Dewan perwakilan rakyat.
f.       Hakikat Undang-undang Menurut Rousseau ( kebenaran mutlak )
Meurut Rousseau, tokoh yang mengetengahkan Teori kedaulatan rakyat mengatakan bahwa tujuan negara itu adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin kebebasan dari para warganegaranya, dalam pengertian bahwa kebebasan dalam batasan-batasan perundang-undang dalam hal ini, pembentukan undang-undang adalah menjadi hak rakyat sendiri untuk membentuknya, sehingga undang-undang itu merupakan dari kemauan atau kehendak rakyat.
Menurut Rousseau suatu undang-undang itu harus dibentuk oleh kehendank umum, dimana dalam hal ini seluruh rakyat secara langsung mengambil bagian dalam pembentukan aturan masyarakat dalam perantara wakil-wakil.
 Di negara Republik Indonesia, kemauan rakyat itu di serahkan kepada lembaga Tertinggi yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang kemudian menyerahkan pelaksanaan dari kedaulatan itu kepada Presiden sebagai Mandratasinya,yang kemudian melaksanakan kedaulatan tersebut dengan membentuk peraturan perundang-undangan, yang salah satunya membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan perwakilan Rakyat.
g.      Cita Negara dan Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia
Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas Hukum, dengan rumusan Rechtsstaat sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945, dan rumusan ini dilandasi dengan Undang-undang Dasar 1945, dan rumusan ini dilandasi oleh Cita Negara Integralistik.
 Paham Cita Negara Integralistik ini di Indonesia diperkenalkan oleh Seopomo, pada saat bangsa Indonesia mempersiapkan pembentukan Negara Indonesia. Dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 31 Mei 1945, Seopomo mengatakan: “Jika kalau kita hendak membicarakan tentang dasar sistem pemerintahan yang hendak kita pakai untuk negara Indonesia, maka dasar sistem pemerintahan itu tergantung pada Staatsidee, kepada negara yang hendak kita pakai untuk pembangunan Negara Indonesia, Menurut dasar apa negara Indonesia akan didirikan”. 
Dari uraian diatas menjadi jelas bahwa Seopomo mengetengahkan faham cita negara ke dalam kehidupan negara yang akan di bentuk, dan juga menunjukkan bahwa cita negara sebagai dasar pembentukan negara (dalam hal ini harus dibedakan antara pengertian “dasar pembentukan negara” dan “dasar negara”). Dasar negara kita adalah Pancasila. Cita negara itu peranannya demikian menentukan terhadap susunan negara dan proses kehidupan negara.
Pendapat Seopomo mengenai Cita Negara Integralistik ini disetujui oleh Rapat Besar Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 14 Juni 1945. Cita Negara Indonesia yang oleh Seopomo diberi nama Cita “Negara Persatuan” itu kemudian dituangkan dalam pokok pikiran pertama Pembukaan UUD 1945.
A.Hamid S. Attamimi berpendapat bahwa sebaiknya untuk selanjudnya tidak lagi digunakan istilah “cita negara integralistik” atau “cita negara totaliter” yang untuk beberapa orang dapat mengundang salah paham, melainkan “cita negara kekeluargaan” atau “cita negara persatuan” oleh Seopomo sendiri mempersamakan arti istilah-istilah tersebut dan menggunakanya secara bergantian.
h.      Lembaga-lembaga Negara Lainnya
Dalam Undang-undang Dasar 1945 masih mengenal 4 lembaga negara lain, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan pertimbangan Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Agung.
Menurut Prayudi Atsmosudirdjo, kekuasaan negara atau dengan istilah susunan penguasa negara adalah sebagai berikut:
1)      Penguasa Konstitusif = MPR
2)      Penguasa Legislatif = Presiden + Dewan Perwakilan Rakyat
3)      Penguasa Eksekutif = Pemerintah =Presiden (dengan dibentuk oleh pejabat-pejabat pemerintah)
4)      Penguasa Administratif = Administrator Negara = presiden (dengan mengeplai Administrasi Negara)
5)      Penguasa militer = Presiden, dengan membawahi Angkatan Perang
6)      Pemerintah yudikatif = Mahkamah Agung, dengan membawahi Aparatur Yudikatif = Mahkamah Agung, dengan membawahi Aparatur peradilan (Korsa Hakim)
7)      Penguasa Konsultatif = Dewan pertimbangan Agung
8)      Penguasa Inspektif = Badan pemeriksa Keuangan
2.  Lembaga-lembaga Negara dan perundang-undangan (sesudah perubahan UUD 1945 )

a.              Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia (berdasarkan UUD 1945 sesudah perubahan).
Perubahan UUD 1945 yang telah di lakukan sebanyak empat kali secara berturut-turut
a)      Pertama Tanggal 19 Oktober 1999
b)      Kedua tanggal 18 Agustus 2000
c)      Ketiga tanggal 9 November 2001
d)     Keempat tanggal 10 Agustus 2002
Yang telah membawa dampak yang besar terhadap perubahan sistem pemerintahan di Negara Republik Indonesia.
Sesuai dengan Perubahan UUD 1945 tentang sistem pemerintahan Negara sesudah Perubahan UUD 1945 sebagai berikut:
a)      Menurut pasal 1 ayat (3) UUD 1945 perubahan, “Negara Indonesia adalah negara hukum”,adanya prinsip pemerintahan yang berdasarkan atas sistem Konstitusi (hukum dasar).
II.  Kekuasaan negara yang tertinggi adalah di tangan rakyat, sesuai dengan rumusan Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 perubahan yang menetap bahwa, “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar,
III. Majelis Permusyawaratan rakyat terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum, dan mempunyai kewenang untuk:
1)      Mengubah dan menetapkan Undang-undang Dasar
2)      Melantik Presiden dan Wakil Presiden
3)      Memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-undang Dasar, sesuai pasal 3 UUD 1945 Perubahan.
4)      Memilih Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan, dan
5)      Memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan, sesuai pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945
IV. Presiden adalah penyelenggara Pemerintahan Negara yang tertinggi di Indonesia, sesuai dengan pasal 4 ayat (1) UUD 1945 perubahan yang menetapkan bahwa, “Presiden Republlik Indonesia memegang kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-undang Dasar
Selain itu, dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah ditangan Presiden, hal ini berhubungan erat dengan merumuskan Pasal 6A UUD 1945, perubahan yang menetapkan, Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam suatu pasangan secara langsung oleh rakyat.
V.  Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut Pasal 5 ayat (1) UUD perubahan, Presiden berhak mengejukan rancangan Undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan pasal 20 ayat (1) UUD 1945 Perubahan, Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-undang, namun dalam membentuk Undang-Undang Dewan Perwakilan Rakyat harus membahas bersama Presiden dan mendapat persetujuan dari Presiden, sesuai pasal 20 ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945 perubahan.
Menurut pasa 20A UUD 1945 perubahan, Dewan Perwakilan Rakyat juga memilliki fungsi legislatif, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan, memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat, sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat juga mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.
Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam pasal tersebut, maka Presiden seharusnya bekerja bersama-sama dengan Dewan, akan tetapi Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung kepada Dewan.
VI. Mentri Negara adalah pembantu Presiden, Mentri tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam pasal 17 UUD 1945 perubahan antara lain ditetapkan bahwa:
a)      Presiden dibantu oleh mentri-mentri negara
b)      Mentri-mentri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
c)      Setiap mentri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan[1]



VIII.       Kekuasaan Kepala negara tidak terbatas.
Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat adalah kuat. Dewan ini tidak bisa dibubarkan  oleh Presiden, hal ini ditegaskan bahwa pasal 7C UUD 1945 perubahan, yang menyatakan bahwa, presiden tidak dapat membekukan atau membubarkan, Dewan Perwakilan Rakyat.
Menurut pasal 2 ayat 1 UUD 1945 perubahan, anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah semuanya merangkap menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sesuai ketentuan dalam pasal 7A dan pasal 7B serta Pasal 20A UUD 1945 perubahan, Dewan Perwakilan Rakyat dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden, sehingga apabila Dewan Perwakilan Rakyat menganggap bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden, yang telah ditetapkan oleh Undang-undang Dasar, maka memalui keputusan Mahkamah Konstitusi Dewan Perwakilan Rakyat dapat mengusulkam pemberhentian Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Seperti dalam sistem pemerintahan negara sebelum perubahan UUD 1945, maka Mentri-mentri negara bukan pegawai biasa. Meskipun kedudukan Mentri negara tergantung dari pada Presiden, akan tetapi mereka bukan pegawai tinggi biasa, oleh karena Mentri-mentrilah yang terutama menjalankan kekuasaan Pemerintah dalam prateknya.
Sebagai pemimpin Departemen, Mentri mengetahui seluk-beluk hal-hal yang mengenai lingkungan pekerjaan. Berhubungan dengan itu Mentri mempunyai pengaruh besar terhadap Presiden dalam menentukan politik negara yang mengenai Departemennya. Untuk menentukan politik Pemerintahan dan koordinasi dalam Pemerintahan Negara, para Mentri bekerja bersama satu sama lain seerat-eratnya di bawah pimpinan Presiden.

b. Presiden Penyelenggara Pertinggi Pemerintahan Negara
Di dalam pasal 4 ayat 1 UUD 1945 (sebelum dan sesudah perubahan) dirumuskan bahwa:
“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar”
Pasal tersebut merupakan salah satu pasal yang tidak dilakukan perubahan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dengan demikian rumusan pasal tersebut mempunyai makna yang sama dengan semula (sebelum perubahan UUD 1945), sehingga Presiden adalah Kepala pemerintahan di Negara Republik Indonesia
  Sesudah perubahan UUD 1945, Presiden Republik Indonesia adalah tetap sebagai penyelenggara Tertinggi Pemerintahan Negara, yang menjalankan seluruh tugas dan fungsi pemerintah dalam arti luas yang menyangkut ketataprajaan, keamanan, dan pengaturan.
Sesudah perubahan UUD 1945 presiden dipilih secara langsung oleh rakyat sesuai dengan pasal 6A UUD 1945 perubahan, sehingga kedudukan presiden sesudah perubahan UUD 1945 sebenarnya lebih kuat dari pada sebelum perubahan UUD 1945. Saat ini, sesudah perubahan UUD 1945, Presiden langsung mendapat mandat dari rakyat, sedangkan sebelum perubahan UUD 1945 presiden mendapat mandat dari rakyat melalui Majelis Pemusyawaratan Rakyat.
c. Presiden Penyelenggara pemerintahan dan Perundang-undangan
Sebagai penyelenggara pemerintahan, presiden dapat membentuk praturan perundang-undangan yang diperlukan, oleh karena presiden juga merupakan pemegang kekuasaan pengaturan di Indonesia.
Fungsi pengaturan ini terlihat dalam pembentukan Undang-undang bernama DPR sesuai pasal 20 ayat 2, ayat 3 dan ayat 4 UUD 1945 perubahan, pembentukan peraturan Pemerintah berdasarkan pasal 5 ayat 2 UUD 1945 (sebelum dan sesudah perubahan), pembentukan peraturan pemerintahan pengganti Undang-undang (PERPU) berdasarkan pasal 22 ayat 1 UUD 1945 (sebelum dan sesudah perubahan), yang merupakan peraturan perundang-undangan yang disebut secara langsung oleh UUD 1945, dan juga pembentukan keputusan Presiden yang merupakan peraturan Perundang-undangan yang berasal dari ketentuan pasal 4 ayat 1 UUD 1945 (sebelum dan sesudah perubahan)
d. Dewan Perwakilan Rakyat Memegang Kekuasaan Membentuk Undang-Undang      Bersama Presiden
Dalam pasal 5 ayat 1 UUD 1945 perubahan dirumuskan sebagai Berikut:
“Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”
Sedangkan pasal 20 UUD 1945 perubahan, menetapkan:
1)      Dewan perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-undang.
2)      Setiap rancangan Undang-undang di bahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk membantu persetujuan bersama
3)      Jika rancangan Undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan Undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
4)      Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.
5)      Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Apabila membaca perumusan dari pasal 5 ayat (1) UUD 1945 perubahan, dapat ditafsirkan bahwa Presiden hanya berhak untuk mengajukan rancangan undang-undang usul inisiatif kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Akan tetapin jika pasal 5 ayat (1) UUD 1945 perubahan tersebut dihubungkan dengan pasal 20 ayat (2) UUD 1945 perubahan yang menetapkan bahwa, “setiap rancangan Undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”.
Yang mempunya makna agar didalam pembentuk undang-undang Dewan Perwakilan Rakyat harus melaksanakannya dengan persetujuan, atau dengan berbarengan, serentak, bersama-sama dengan Presiden. Agar undang-undang itu dapat terbentuk, kedua kewenangan tersebut dilaksanakan bersama-sama, oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Berdasarkan Uraian di atas, terlihat bahwa sesudah perubahan UUD 1945 kewenangan Presiden dalam pembentukan Undang-undang tidak jauh berbeda dengan sebelum Perubahan UUD 1945.
e.   Lembaga-lembaga Negara Lainnya
Selain lembaga-lembaga negara yang berhubungan dengan pembentukan perundang-undangan, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, yang berwenang membentuk Undang-undang masih terdapat lembaga-lembaga negara lainnya yang mempunyai fungsi tertentu dalam penyelenggaraan kekuasaan negara di Indonesia.
Secara keseluruhan yang dianggap sebagai Lembaga-lembag Negara menurut Perubahan UUD 1945 adalah:

1)      Majelis Pemusyawaratan Rakyat
2)      Dewan Perwakilan Rakyat
3)      Dewan Perwakilan Daerah
4)      Presiden
5)      Mahkamah Agung
6)      Mahkamah Konstitusi
7)      Komisi Yudisial, dan
8)      Badan Pemeriksa keuangan[2]

B. Peraturan perundang-undangan ( dari masa ke masa )
1.      Devenisi
Pengertian dari peraturan perundang-undangan itu sendiri diatur atau dimuat dalam Pasal 1 angka 2 UU No.12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.[3]
2.      Hierarki peraturan perundang-undangan
Ø  Undang – undang dasar negara republik Indonesia tahun 1945.
Ø  Ketetapan majelis permusyawaratan rakyat.
Ø  Undang-undang atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
Ø  Peraturan pemerintah.
Ø  Peraturan presiden.
Ø  Peraturan daerah Privinsi dan
Ø  Peraturan daerah Kabupaten atau kota.[4]


3.      Asas-asas pembentukan Peraturan perundang-undangan
Untuk memahami asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, dapat dimulai dari pengertian tentang asas hukum. Berikut dikemukakan pandangan para ahli tentang asas hukum.
1)        P. Scholten Menjelaskan bahwa :
“ Asas hukum bukanlah sebuah aturan hukum ( rechtsregel ). Untuk dapat dikatakan sebagai aturan hukum, sebuah asas hukum adalah terlalu umum, sehingga ia atau sama sekali tidak atau terlalu banyak berbicara ( of niets of veel te veel zeide ). Penerapan asas hukum secara lansung melalui jalan subsumsi atau pengelompokan sebagai aturan tidak mungkin, karena untuk itu lebih dahulu perlu dibentuk isi yang lebih kongkret.
Selanjutnya Paul Scholten, juga menguraikan pengerian asas hukum sebagai :
( grondgedachen, die in en acher ieder in wetsvoorschriften en rechterlike uitspraken belichaamd rechtssysteem liggen, waarvan de bijzondeere bepalingen en beslissingen als uit werkingen kunnen worden gedacht “ ).
Pikiran – pikiran dasar yang terdapat dalam dan di belakang sistem hukum masing- masing dirumuskan dalam aturan perundang- undang, dan putusan- putusan hakim, yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.[5] Dengan perkataan lain, asas hukum bukanlah hukum, namun hukum tidak akan dapat dimengerti tanpa asas-asas hukum. P. Scholten juga mengemukakan, menjadi tugas ilmu pengetahuan hukum untuk menelusuri dan mencari asas hukum itu dalam hukum positif.
2)             Sudikno Mertokusumo mengemukakan, bahwa :
“ Asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkret, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnyaatau merupakan latar belakang dari peraturan kongkret yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat umum dari peraturan yang kongkret tersebut. Fungsi ilmu hukum adalah mencari asas hukum ini dalam hukum positif.

4.      Teori perundang-undangan
Pembentukan peraturan perundang-undangan pada hakikatnya ialah pembentukan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan bersifat  umum dalam arti yang luas. Peraturan perundang-undangan adalah peraturan pemerintah yang tertulis yang berisi petunjuk atau pola tingkah laku yang bersifat mengikat secara umum. Bersifat dan berlaku secara umum, maksudnya tidak mengindetifikasikan individu tertentu, sehingga berlaku bagi setiap subjek hukum yang memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam ketentuan mengenai tingkah laku tersebut. Pada kenyataanya, terdapat juga peraturan perundang- undang seperti  undang- undang yang berlaku untuk kelompok orang- orang tertentu, objek tertentu, daerah dan waktu tertentu. Dengan demikian mengikat secara umum pada saat ini sekedar  menunjukkan tidak menentukan ssecara konret ( nyata ) identitas individu atau objeknya.
5.      Bentuk peraturan perundang-undangan
Didalam kesempatan kali ini kita akan membahas bentuk – bentuk perundangan –undangan dari segi pengelompokan masanya, yaitu pada masa hindia belanda dan kedudukan jepang, serta pasca kemerdekaan Indonesia
a)      Peraturan perundang- undangan zaman Hindia Belanda dan masa pendudukan Jepang
Di zaman Belanda, bentuk – bentuk peraturan yang dikenal melputi lima tingkatan, yaitu :
                                i.            Undang-undang dasar kerajaan Belanda
                              ii.            Undang-undang Belanda atau wet
                            iii.            Ordonantie yaitu peraturan yang ditetapkan oleh Gubernur jendral Hindia Belanda bersama-sama dengan Dewan Rakyat di Jakarta sesuai dengan Titah Ratu kerajaan Belanda di Den Haag.
                             iv.            Regerings Verordening atau RV, yaitu peraturan pemerintah yang ditetapkan oleh Gubernur Jendral untuk melaksanakan undang-undang atau wet dan
                               v.            Peraturan daerah swantantra ataupun daerah swapraja[6]
Di dalam uraian lain, sebagaimana dikemukakan oleh CST Kansil, peraturan perundang- undangan pada masa Hindia Belanda, yang dianggap sebagai undang- undang dasarnya adalah wet.
Perturan perundang-undangan yang diatur dalam Indische Staatsregeling ( IS ), meliputi :
1)      Ordonantie , berdasarkan ketentuan Pasal 82 IS, bahwasanya Gubernur Jendral dengan persetujuan Volksraad, menetapkan Ordonantie menegenai pokok-pokok persoalan yang menyangkut Nederlands Indie kecuali apabila ditentukan lain dalam Grondwet ( UUD ) atau wet ( undang-undang ).
2)      Regeringsverordening, disingkat R.V Gubernur jendral dapat menetapkan peraturan pemerintah yang berisi peraturan untuk melaksanakan wetten, Algemene maatregel van bestuur (  perauran pusat yang ditetapkan Raja, disingkat AMVB ), dan Ordonantie apabila itu harus dilakukan olehnhya. Peraturan pemerintah itu dapat menetapkan pidana terhadap pelanggaran yang akan diatur dalam Ordonantie . sedangkan keputusan pemerintah tetap dapat dikeluarkan untuk pengaturan yang bersifat administratif.
Pada masa pendudukan Jepang, pemerintahan sipilnya dilakukan oleh penguasa militer (  Gunseikan ) . kemudian semenjak 1 September 1943, dilakukan oleh Seikosikikan. Peraturan yang dikeluarkan oleh penguasa militer disebut dengan  Osamu Kanrei , sedangkan peraturan yang dikeluarkan oleh Seikosikikan selanjutnya disebut dengan Osamu Seirei . Pada masa Jepang, kedua bentuk peraturan tersebut diundangkan kedalam lebaran yang disebut dengan Kanpo.[7]
b)        Peraturan perundang-undangan pasca kemerdekaan
1)             Masa Orde Lama ( 1945-1965 )
Peraturan perundang-undangan yang dikenal dalam Undang-Undang Dasar 1945 ( masa 17 Agustus 1945- 17 Agustus 1950 ), dan diberlakukan kembali berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dalam beberapa pasal disebutkan, peraturan perundang-undangan terdiri atas : Undang-Undang ( pasal 5 ayat (1), juncho. Pasal 20 ayat (1 ) ; peraturan pemerintah sebagai pengganti undang- undang ( pasal 22 ) dan peraturan pemerintah ( pasal 5 ayat (2) ).
Akan tetapi, kemudian dalam prakteknya ( antara tahun 1945-1949 ) juga dijumpai berbagai jenis peraturan perundang-undangan lain, seperti : penetapan presiden, peraturan presiden, penetapan pemerintah, maklumat pemerintah, maklumat presiden ( wakil presiden ).
Dalam konstitusi Republik Indonesia Serikat ( KRIS ) yang berlaku mulai tanggal 27 Desember 1949, bentuk- bentuk peraturan yang tegas disebut adalah ; Undang- undang Federal, Undang-Undang Darurat, dan peraturan pemerintah, sedangkan dalam UUDS yang berlaku mulai tanggal 17 agustus 1950, penyebutannya berubah menjadi Undang-Undang Darurat, dan peraturan pemerintah.
Setelah periode kembali ke UUD 1945, berdasarkan surat presiden No. 2262/HK/1959 tertanggal 20 Agustus 1959, yang ditujukan kepada dewan perwakilan gotong royong ( DPRGR ), dinyatakan bahwa disamping bentuk peraturan perundang-undangan yang ada didalam undang-undang dasar ( UUD 1945 ), dikeluarkan pula bentuk- bentuk peraturan yang lain yaitu :
a. penetapan presiden, untuk melaksanakan Dekrit Presiden/ panglima tertinggi angkatan perang tanggal 5 juli 1959 tentang kemnalinya kepada UUD 1945.
b. peraturan presiden yaitu, peraturan yang dikeluarkan untuk melaksanakan penetapan presiden, ataupun peraturan yang dikeluarkan berdasarkan Pasa 4 ayat 1 ( UUD 1945.
c. peraturan pemerintah, yaitu untuk melaksanakan peraturan presiden sehingga berbeda pengertiannya dengan peraturan pemerintah yang dimaksud dalam pasal 5 ayat ( 2 ) UUD 1945.
d. keputusan presiden,  yang dimaksudkan untuk melakukan atau meresmikan pengangkatanp pengangkatan.
e. Peraturan menteri dan keputusan menteri,  yang dibuat oleh kementrian – kementrian negara atau depar temen departemen pemerintahan, masing- masing mengatur sesuatu hal untuk melakukan atau meresmikan pengangkatan- pengangkatan.
2)      Orba ( 1966-1998 )
Selanjutnya berdasarkan ketetapan majelis permusyawaratan rakyat sementara nomor XX/MPRS/1966, ditentukan bentuk peraturan dengan urutan sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar
b. Ketetapan MPR
c. Undang-Undang / Perpu
d. Peraturan pemerintah
e. Keputusan presiden dan / intruksi dari presiden
f. peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya, seperti ; peraturan menteri, intruksi menteri, dan lain- lain.
Terkususnya bagi ketetapan MPRS ini ( nomor XX/MPRS/1966 ) ini, yang rentang masa keberlakuannya bertahan lama, pada kenyataannya jamak diketemui kelemahan yang mendasar, yang selanjutnya menjadikan sebagai argumen untuk perubahan Tap MPRS terssebut.
Mungkin itu saja yang dapat kami sampaikan didalam makalah kami, berkaitan dengan lembaga dan sistem kekuasaan pada masa sebelum amandemen UUD 1945 dan setelah diamandemenkannya UUD 1945, serta penjelasan tentang sistem peraturan perundang- undangan  di Indonesia dari masa Orde lama, dan Orde baru.


[1] Maria Farida Indrati Seoprapto, Ilmu Perundang-undangan dasar-dasar dan pembentukannya,(Yogyakarta:Kanisius,2005) hal 21

[2] Maria Farida Indrati Seoprapto, Ilmu Perundang-undangan dasar-dasar dan pembentukannya,(Yogyakarta:Kanisius,2005) hal
[3] Duwi Handoko, dekriminalisasi terhadap delik-delik dalam KUHP, Pekan Baru ,Hawa dan Ahwa, 2015. Hal. 16

[4]  Pasal 7 UU No.12 Tahun 2011, tentang pembuatan peraturan perunndang-undangan
[5] Yuliandri, Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, jakarta, PT Raja grafindo, 2014 hal. 19
[6] Yuliandri, Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, jakarta, PT Raja grafindo, 2014 hal. 50-51
[7] Yuliandri, Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, jakarta, PT Raja grafindo, 2014 hal. 51-52

Tidak ada komentar:

Posting Komentar