Senin, 08 Juli 2019

PERIODE PERKEMBANGAN FIQIH SIYASAH



MAKALAH
FIQIH SIYASAH
PERIODE PERKEMBANGAN FIQIH SIYASAH
DI SUSUN OLEH :

FADHEL MAHMED AZZUHDI         (0204161001)




DOSEN PEMIMBING : Dr. MUHAMMAD IQBAL, M.A


FAKULTAS SYARIAH DAH HUKUM
JURUSAN MUAMALAH 2A
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA




KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah S.W.T. yang mana atas berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah berjudul, “ PERIODE PERKEMBANGAN FIQIH SIYASAH“ ini dengan baik, meskipun masih jauh dari sempurna.
Shalawat berangkaikan salam tak lupa pula kami hantarkan kepada jujungan kita yakni Nabi Muhammad S.A.W. yang telah membawa kita semua dari alam kejahilan menuju kealam yang terang menerang seperti yang kita rasakan saat ini.
Tak lupa pula kami ucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing yang telah membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini yang berjudul “PERIODE PERKEMBANGAN FIQIH SIYASAH “. Kami sadar dalam penulisan makalah ini, masih banyak kekurangan, untuk itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun.


Medan,    September 2017


Penulis













DAFTAR ISI
Kata Pengantar........................................................................................i
Daftar isi..................................................................................................ii
BAB I Pendahuluan
A.      Latar Belakang 1
B.      Rumusan Masalah 1
BAB II pembahasan
A.      Sketsa Historis perkembangan fiqih siyasah.......................................................................3
B.      Periode klasik 4
C.      Periode pertengahan...........................................................................................................7
D.      Periode moderen................................................................................................................9
BAB III Penutup
1.       Kesimpulan 13
2.       Daftar pustaka 15















BAB 1
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Sebelum kita mengakaji lebih jauh tentang fiqh siyasah, maka dari itu kita membahas tentang sejarah perkembangan ilmu siyasah itu sendiri, dimana terdapat beberapa periode perkembangan yaitu ada pada masa klasik, pertengahan dan pada masa moderen.
Dan selain itu, hal yang melatar belakangi di dalam pembuatan makalah ini adalah beban kuliah yang diberi dosen pengampu pada mata kuliah fiqh siyasah, demi untuk mencapai sebuah sistem perkuliahan yang baik, terarah dan memiliki pengetahuan yang lebih baik lagi.
B.     Rumusan masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah yang kami bahasa ialah :
1.      Perkembangan fiqih siyasah pada masa klasik
2.      Perkembangan fiqih siyasah pada masa pertengahan
3.      Perkembangan fiwih siyasah pada masa moderen


















BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum menggali lebih jauh dari perkembangan fiqih siyasah itu sendiri, alangkah baiknya kita mengenal sedikit apa itu yang dimaksud dengan fiqih siyasah. Istilah siyasah syar`iyyah  berbagai maksud dan arti. Secara bahasa, frasa ini berarti kebijakan yang beriorentasi pada syariah, pemerintahan sesuai dengan pprinsip syariah. Inilah arti yang paloing luas dalam arti terbebas kompleksitas perkembanhan pemikiran dan penerapan dalam kitab-kitab fiqih sesudahnya. Dalam arti literalnya, siyasah mencangkup seluruh kebijakan pemerintahan, apakah ia didalam bidang yang diatur jelas oleh syariat ataupun tidak.
Menurut Para ahli fiqih, siyasah mengandung arti keputusan dan langkah kebijakan yang diambil oleh pemimpin dalam permasalahan yang tidak diatur secara spesifik oleh syariah, dalam pengertian ini siyasah syariah sebagai mana diamati oleh para khallaf,  paling banyak didasarkan atas dasar prinsip kemashlahatan umum (mashlahat al-`ammah ) yang tidak diatur secara jelas oleh syar`i. Dengan kata lain, istilah ini mengandung arti pengaturan urusan publik dalam pemerintahan islam yang ditujukan guna mewujudkan kepentingan masyarakat dan menghindarkan terjadinya kemudharatan sejalan dengan prinsip umum syariat meskipun tidak selalu sesuai dengan ketentuan tekstual khusus. Siyasah dalam pengertian ini dapat berarti pengambilan kebijakan dan pengesahan undang-undang dalam seluruh aspek pemerintahan, baik dalam negeri ataupun luar negeri, permasalahan konstitusional, fiskal, pemerintahan atau peradilan. Jadi, setiap langkah yang diambil untuk memastikan suatu pengaturan urusan publik supaya efektif termasuk dalam katagori siyasah syariah.[1]
Menurut Ibn al-Qayyim, siyasah syari`ah tidak harus sesuai dengan ketentuan ekspilisit syariat. Ulama terkenal ini menyatakan bahwa setiap langkah yang secara aktual membawa manusia lebih dekat dengan kebaikan dan lebih jauh dari kerusakan merupakan bagian dari siyasah yang adil meskipun hal itu tidak disuruh lansung oleh Nabi S.A.W. serta tidak diatur oleh Wahyu. “siapapun yang berkata bahwa tidak ada siyasah syaria`h dalam kasus yang diatur secara ekplisit oleh syariat adalah keliru dan telah salah memahami para sahabat. ( Ibn al-Qayyim, 1961:16 )[2]

A.    Sketsa Historis Perkembangan kajian fiqih siyasah
            Dalam sejarah Islam, siyasah (politik) telah di praktikan oleh Nabi Muhammad S.A.W setelah beliau berada di Madinah. Di sini Nabi menjalankan dua fungsi sekaligus; sebagai rasul utusan  Allah dan kepala negara di Madinah. Dalam fungsi keduanya ini, Nabi mengatur kepentingan umatnya berdasarkan wahyu yang di turunkan Allah kepadanya. Hal ini di jalankan sukses oleh beliau selama sepuluh tahun (622-632 M). Setelah beliau wafat,  fungsi nkedua ini di lanjutkan oleh al-Khulafa' ar-Rasyidun. Permasalahan siyasah (Khalifah), yakni siapa yang berhak menggntikan beliau setelah wafat, inilah yang menjadi akar perdebadan di kalangan umat Islam. Akhirnyaa, disepakatilaah Abu Bakaar al-Siddiq sebagai pengganti Nabi Muhammad S.A.W.
            Peristiwa Tsaqifah ini mengisyaratkan betapa permaasalahan siyasah ini sangat krusial dan sensitif, sehingga membutuhkan penanganan yang bijak dan adil. Untunglah Abu Bakar dan 'Umar bin Khattab yangg kemudian menggantikannya mampu menjalankan pemerintahannya dengan baik, sihingga memuaskan masing-masing kelompok di dalam tubuh umat Islam. Dua Khalifah ini berhasil meminimalisir perbedaan pendapat tersebut sehingga dapat meredam gejolak dan goncangan yang mungkin terjadi.[3]
            Namun memasuki pemerintahan 'Utsman bin 'Affan, tepatnya enam tahun kedua kepemimpinanya, gejolak tersebut akhirnya muncul juga kepermukaan. 'Utsman di anggap tidak becus memimpin  negara Madinah dan terlalu mementingkan keluarga besarnya saja. Ia juga tidak mampu menahan ambisi anggota keluarganya yang memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan mereka sendiri. Akhirnya berbagai daerah melalukan pemberontakan yang mengakibatkan 'Utsman tewas di tangan umat Islam sendiri, keadaanpun semakin kacau dan tidak terkontrol ketika 'Ali ibn Abi Thalib di angkat oleh sebagian umat Islam untuk menggantikan posisi 'Utsman. Kondidi 'A'isyah, Thalhah dan Zubeir melakukan perlawanan terhadap 'Ali. Sementara Mu'awiyah dari keluarga 'Utsman menuntut 'Ali bertanggung jawab atas kematian 'Utsman dan meminta agar pembunuh 'Utsman diadili. Mu'awiyah yang di pecat dari gubernur Syam oleh 'Ali, bahkan menyusun kekuatan melawan 'Ali. Akhirnya terjadilah peperangan antara 'Ali dengann kedua kelompok oposisi ini. Perlawanan trio 'A'isyah, Thalha dan Zubeir dapat di padamkan oleh 'Ali. Tapi Mu'awiyah cukup kuat, sehingga 'Ali terpaksa menguras tenaga untuk memadamkannya. Banyak pasukannya yang gugur di perang Shiffin melawan Mu'awiyah. Ketika kemenangan hampir berada di tangan 'Ali, tiba-tiba 'Amr ibn al-'Ash dari kelompok Mu'awiyah mengacungkan mushaf al-Qur'an mengajak 'Ali mengadakan gencatan senjata dan bertahkim untuk menyelesaikan perselisihan di antara dua kelompok ini.
Akan tetapi tahkimpun tidak menyelesaikan masalah. 'Amr yang mewakili Mu'awiyah ternyata sangat lihai dan licik mengelabui utusan 'Ali, Abu Musa al-Asy'ari. Hasil tahkim hanya menguntungkan Mu'awiyah tidak memuaskan 'Ali. Namun, 'Ali mau tidak mau harus tunduk kepada keputusan tersebut. Melihat keadaan ini, sebagian kelompok 'Ali keluar dan membentuk kelompok sendiri yang di kenal dengan Khawarij.
            Dari pertentangan di atas, akhirnya umat Islam terpecahkankan menjadi tiga kekuatan politik, yaitu kelompok Mu'awiyah yang akhirnya menguasai pentas politik Islam dan menjadi mayoritas, kelompok pendukung 'Ali (Syi'ah) dan Khawarij. Sebenarnya masih ada satu kelompok lagi yang tidak mau melibaykan dirinya dalam kegiatan politik, yaitu Mu'tazilah. Mereka bersikap netral dan tidak mendukung pihak manapun. Masing-masing kelompok ini mempunyai pandangan dan pemikiran politik sendiri yang berbeda antara satu sama lainnya, pemikiran politik mereka hanyalah merupakan respons spontan perkembangan yang terjadi. Namun daam perkembangan selanjutnya, pemikiran mereka di susun secara sistematis, sehingga menjadi satu gagasan utuh. Kelompok-kelompok tersebut, melalui para pemikir praktisi politiknya, menuliskan gagasan mereka untuk mengembangkan paradigma kelompok mereka dan menolak seramham dari kelompok lainnya. Dalam sejarah Islam, perkembangan fiqh siyasah secara sederhana dapat di bagi ke dalam periode klasik yang berlangsung hingga 1258 M, periode pertengahan yang berakhir pada abad ke-19 dan periode modern hingga sekarang[4]  
1.      Periode klasik
Ciri yang menandai perkembangan kajian fiqih siyasah pada periode klasik adalah kemapaman yang terjadi didunia islam. Secara politik, islam memegang kekuasaan dan pengaruhnya di pentas internasional, pada periode ini terdapat dua dinasti, yaitu dinasti Bani Umayyah (661-750 M ) dan Bani Abbas ( 750-1258 M ). Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, kajian fiqih siyasah masih belum muncul. Bani Umayyah masih mengarahkan kebijaksanaan politiknya pada pengembangan wilayah kekuasaan. Memang ada kelompok oposisi, sepeti Khawarij dan Syia`h pada masa ini, tetapi tidak mempunyai pengaruh yang kuat. Pemikiran dan gerakan mereka cenderung radikal dan ekstrim dalam mementang kekuasaan Bani Umayyah. Pada masa Daulah Bani Abbas barulah kajian fiqih siyasah ini mulai dikembangkan. Namun demikian kuatnya pengaruh negara membuat kajian yang dikembangkan oleh para ulama ketika itu cenderung mendukung kekuasaan lain. Inilah yang terjadi dikalangan ulama Sunni pada umumnya.
Ulama Sunni yang dianggap pertama kali menulis tentang kitab siyasah ini adalah Ibn Abi Rabi`. Ia memepersembahkan karyanya yang berjudul Suluk al-Malik fi Tadbir al- Mamalik. ( pedoman bagi raja dalam menjalankan pemerintahan ) kepada Khalifah al-Mu`tashim khalifah Abbasiyah yang memerintah pada abad IX M ( 833-842 M )[5]. Sebaagai “ buku persembahan “, tentu karangannya tidak dapat diharapkan memberi koreksi terhadap penguasa. Buku ini tidak mempertanyakan secara monarki secara turun temurun, bahkan mendukungnya. Ibn Abi Rabi` pun memuji-muji Al-Mu`tashim sebagai Khalifah yang adil, bijak sana, dan mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Karena itu, Ibn Abi Rabi` menekankan kepatuhan mutlak rakyat kepada khalifah selaku kepala negara. Meskipun demi kian Ibn Abi Rabi` mengembangkan pemikirannya dengan mengadopsi beberapa pemikiran filsuf Yunani. Ketika berbicara tentang asal mula timbulnya negara, misalnya, Ibn Abi Rabi` mendukung pendapat Plato yang menyatakan bahwa manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan sendiri tampa bantuan orang lain. Ini merupakan awal timbulnya kerja sama antara sesama manusia yang pada gilirannya akan membentuk negara.
Pandangan Ibn Abi Rabi` dalam beberapa hal juga mendapat dukungan dari al-Ghazali (1058-1111 M ). Dalam kitabnya al-Iqtishad fi al-I`tiqad, al-Ghazali menyebutkan bahwa kekuasaan kepala negara adaah kudus ( suci ). Kerenanya, umat tidak boleh memberontak kepada kekuasaan. Berbeda dengan mereka berdua, al-Mawardi ( 975-1059 M ). Masih memungkinkan memecat kepala negara dari jabatannya. Al-Mawardi juga mengemukakan teori “ kontrak sosial “ antara kepala negara dan rakyatnya. Karena kepala negara diangkat melalui kontrak sosial, maka al-Mawardi meniscayakan adanya pemberhentian kepala negara dari jabatannya.
Sebagai wujud pembelaan mereka terhadap kekuasaan, kalangan ulama Sunni umumnya menetapkan sarat Quraisy untuk menjadi kepala negara. Ini wajar, karena ketika itu pucuk kekuasaan umat Islam pada masa itu ialah berada ditangan suku Quraisy, disamping adaya ketentuan hadist Nabi yang menyebutkan hal ini. Diantara mereka ada yang secara tegas menyebutkannya, seperti al-Baqillani ( w.1013 M ), al-Mawardi dan al-Ghazali. Sementara Ibn Abi Rabi` tidak membahasnya karena pada masa itu Quraisy sedang kuat dan jaya.
Berdasarkan kenyataan ini Harun Nasution menyimpulkan bahwa teori politik Sunni abad klasik ini cenderung memberi legitimasi terhadap kekuasaan. ini wajar, karena pada umumnya tokoh fiqh siyasah pada masa ini berada di lingkaran kekuasaan. sebagai contoh, al-Mawardi adalah salah seorang pejabat bpenting dalam pemerintahan Bani Abbas. agaknya, hanya al-Farabi (870-950 M) yang memiliki pemikiran berbeda dari tokoh-tokoh di atasnya. sebagai filsuf, pemikiran poliknya lebih banyak bersifat idealistis dan cenderung utopia. di samping itu, perkenalnya dengan pemikiran-pemikiran Yunani kuno juga memperlihatkan pengaruh tokoh-tokoh filsuf Yunani, seperti Plato, dalam pemikiran politiknya. Gagasan politiknya antara lain tertuang dalam karyanya Ara' Ahl aal-Madinah al-Fadhilah (pandangan para penghuni negara utama).
            pengaruh Plato jelas sekai dalam pandangan al-Farabi ketika iaa membagi warga negara dalam tiga kelas sosial, yaitu kelas pemimpin, kelas tentara (militer) dan kelas rakyat jelata. Menurutnya, kepala negara haruslah seorang filsuf, karena filsuflah yang dapat manusia ke dalam kebaikan dan hikmah.
            di sisi lain, Syi'ah Khawarij dan Mu'tazilah juga mengembangkan gagasan politik masing-masing. Syi'ah selalu memprogandakan pandangan tentang keutamaan 'Ali dan keluarganya sebagai khalifah serta doktrin kemaksuman imam. Kemudian pada masa al-Mu'tamid (869-892 M) berkuasa, mereka mengembangkan doktrin kegaiban imam. Menurut mereka, imam mereka yang kedua belas, yaitu Muhammad al-Mahdi, yang ketika itu berumur 5 tahun, menghilang di Gua Samarra, Irak pada 873 M. Meski tampil sebagai oposisi, kaaum Syi'aah juga pernah mendirikan kerajaan sendiri yang lepas dari pengaruh Abbasiyah, yaitu Bani Buwaihi di Baghdad dan Daulah Fathimiyah di Mesir.
            Adapun Khawarij, karena sikap ekstrem dan radikal mereka, tidak terlalu begitu berpengaruh dalam pentas politik. Pemikiran politik mereka tidak tersusun secara sistematis dalam sebuah karya. Namun demikian, pemikiran mereka sendiri sikit banyaknya di adopsi dan di kembangkan secara sistematis oleh Mu'tazilah. Salah seorang tokoh penting di kalangan Mu'tazilah ini adalah Qadhi 'Abd al-Jabbar. Ia menulis kitab Syarah Ushul al-Khamsah dan al-Mughni, yang dalam beberapa bagian membahas tentang pemikiran politik Mu'tazilah. Berbeda dengan kalangan Sunni yang menganggap Imamah (Kepemimpinan) kewajiban Syar'i, Mu'tazila, begitu juga Khawarij, memandang bahwa penegakkan institusi Imamah hanyalah berdasarkan akal. Karenanya kepala negara bukanlah orang yang tidak punya salah seperti pandangan Syi'ah, juga tidak harus dari Quraisy, seperti klaim dari kelompok Sunni. Siapa saja, menurut 'Abd al-Jabbar, asalkan memiliki kemampuan dan syarat yang cukup, dapat menjadi kepala negara.
            Dari pandangan kelompok di atas dapat di tarik bvenang merah bahwa pemikiran politik pada periode klasik ini pada umumnya di warnai oleh kepentingan golongan. Dalam hal ini kelompok Sunni mendominasi pencaturan politik ketika itu dan para pemikir politiknya mengembangkan doktrin-doktrin mereka di bawah petronase kekuasaan. SEjalan dengan meningkatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan transfer ilmu asing (terutama Yunani Kuno) ke dalam Islam, gagasan-gagasan politik pada abad klasik ini juga di tandai dengan pengaruh asing.[6]
2.      Periode pertengahan
Periode pertengahan ditandai dengan runtuhnya kerajaan Abbasiyah pada 1258 M di tangan tentara Mongol. Pada masa ini, kekuasaan politik Islam mengalamai kemunduran. Kerena itu, kecendrungan pemikiran politik Islam juga mengalami perubahan. Tokoh yang mengalami tragedi lansung penyerangan tentara Mongol ke Baghdad adalah Ibn Taimiyah ( 1263-1329 M ). Ia lahir di Harran, dekat Damaskus, Hanya lima tahun setelah peristiwa tersebut. Bahkan ketika berumur enam tahun Ibn Taimiyah harus dilarikan ayahnya untuk mengungsi menghindarkan kekejaman tentara Mongol yang mulai bergerak menuju kota Harran. Pengalaman pahit ini sangat membekas dalam kepribadian Ibn Taimiyah dan memengaruhi pemikiran politiknya.
Kajiannya tentang fiqih siyasah inni tertuang antara lain dalam kitab al-Siyasah al-Syar`iyyah fi Ishlah al-Ra`iwa al-Ra`iyyah, Majmu al-Fatawa dan Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah.  Meskipun lahir dikalangan Sunni dan penganut mazhab Hambali, Ibn Taimiyah memiliki pemikiran siyasah yang sedikit berbeda dengan pemikir Sunni abad klasik. Berbeda dengan pemikiran Sunni sebelumnya, Ibn Taimiyah tidak memandang institusi imammah sebagai kewajiban syar`i , tetapi hanya kebutuhan praktis saja. Ibn Taimiyah pun tidak mengungkapkan secara tegas syarat Quraisy sebagai kepala negara. Ia hanya menegaskan dua syarat menjadi kepala negara, yaitu kejujuran ( al-Amanah ) dan kewibawaan atau kekuatan ( al-quwwah ).
Kedua hal ini merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Dengan kedua syarat ini akan tercipta keadilan dalam masyarakat, yang merupakan cita-citan dan tujuan syariat Islam. Namun Ibn Taimiyah mengakui bahwa sedikit sekali manusia yang bisa memenuhu kualifikasi ini sekaligus. Karenanya, ia menekankan kepada syarat al-Quwwah  yang lebih utama. Sebab, bila ia saleh tapi lemah, maka kesalehannya hanya berguna untuk dirinya sendiri, sedangkan kelemahannya sangat berbahaya bagi masyarakatnya. Sebaliknya, ia kuat meskipun jahat, maka kejahatannya terpulang kepadanya, sementara kekuatannya sangat berguna bagi umat Islam ( rakyat ).
Pemikir Sunni lainnya yang juga membahas siyasah adalah Ibn Khaldun ( 1333-1460 M ). Pandangan politiknya antara lain tertuang dalam karyanya al-Muqaddimah. Di antara tesisnya yang berbeda dengan para pemikir Sunni lainnya adalah interpretasinya yang kontekstual terhadap Hadis Nabi yang mengsyaratkan suku Quraisy sebagai kepala negara. Ia menganggap Hadist ini bersifat kondisional. Karenanya , suku mana saja bisa memegang posisi puncak kekuasaan pemerintah Islam, selama ia memiliki kemampuan dan kecakapan. Jadi syarat suku Quraisy bagi Ibn Khaldun bukanlah “harga mati “. Seperti halnya Ibn taimiyah, pandangan Ibn Khaldun ini juga dimaksudkan sebagai antisipasi terhadap kondisi politik dunia Islam yang terpecah, pada masa Ibn Khaldun, perpecahan dunia Islam semakin parah. Kekuasaan Islam di Spanyol sudah semakin lemah dan umat Islam di sana dipaksa masuk Kristen atau diusir dari Spanyol. Periode ini dapat dikatakan sebagai fase kemunduran dunia Islam. Ibn Khaldun menyaksikan lansung keadaan ini, bahkan menjadi pelaku dalam dunia politik Islam ketika itu.
Satu lagi pemikir politik pada masa ini adalah Syah Waliyullah al-Dahlawi ( 1702-1762 M ). Berbeda dengan para pemikir siyasah sebelumnya, Syah Waliyullah membenarkan pembangkangan rakyat kepada kepala negara yang tiran dan zalim. Syah Waliyullah bahkan menegaskan bahwa pemerintahan pada periode pasca- al- Khulafa` al- Rasyidun hanyalah berbeda sedikit dengan kerajaan Romawi dan kekaisaran Persia. Kerenanya, untuk mengembalikan pemerintahan pada masa Nabi dan Khalifah yang empat tersebut, Syah Waliyullah membenarkan pembangkangan terhadap kepala negara yang tidak sesuai dengan cita-cita politik Islam.[7]

3.      Periode moderen
            Periode modern ditandai dengan lemahnya dunia islam di bawah penjajahan bangsa-bangsa Barat. Hampir semua negara muslim berada di bawah  imperialisme/penjajahan dan kolonialisme Barat. Disamping menjajahan dunia muslim, Barat juga mencoba mengembangkan pemikiran-pemikiran  politik dan kebudayaan mereka tentunya tidak terlepas dari pengaruh sekularisme, yang masuk ke tengah-tengah umat islam. Disisi lain, dunia islam sendiri tidak mampu menyaingi keunggulan Barat dalam bidang sains, terutamanya bidang teknologi, ilmu pengetahuan, ekonoomi, serta bidang organisasi politik. Mengatasi ancaman dari Barat tersebut, sebagaian pemikiran Muslim ada yang bersikap apriori dan anti-Barat, ada yang secara mentah-mentah meniru Barat serta menjadikannya sebagai prototipe bagi kehidupan Muslim, dan ada pula yang mencoba belajar dari Barat dan secara selektif mengambil nilai-nilai Barat yang positif, yang tidak bertentangan dengan islam.[8]
            Kecenderungan yang seperti ini membuat sebagian  pemikiran ada yang mencoba meniru Barat, ada juga menolak Barat dan  menghendaki kembali kepada kemurnian Islam. Maka, dalam periode ini ada tiga kecendrungan islam yaitu integralisme, interseksion, dan sekularisme.[9]
            Di antara tokoh yang termasuk dalam kelompok pertama adalah Muhammad Rasyid Ridha ( 1865-1935 M ), Hasan al-Banna ( 1906-1966 M ) Abu al-A’la al-Maududi ( 1903-1979 ), Sayyid Quthb ( 1906-1966 M ), dan Ayatullah Khomeini ( 1900-1989 M ) dari kalangan Syi’ah. Mereka melihat islam merupakan swalayan yang telah menyediakan segala kebutuhan manusia dan manusia hanya tinggal melaksanakan ketentuan tersebut. Pemikiran Rasyid Ridha antara lain dapat dilihat dalam karyanya berjudul Al-Khalifah aw al-Imamah al-Uzhma. Dalam karyanya ini Ridha belum bisa melepaskan diri dari pandangan pemikir Sunni Klasik yang mensyaratkan suku Quraisy sebagai kepala negara. Pandangan Hasan al-Banna tercermin dalam aktiivitas dan ceramah-ceramahnya dalam gerakan al-Ikhwan al-Muslimun.
            Secara umum, gagasan kelompok pertama ini masih mengiginkan adanya negara universal yang menyatukan seluruh dunia islam. Ridha menamakannya dengan negara khalifah, Sayyid Quthb menyebutnya sebagai negara supranasional, sementara Maududi menamakannya dengan negara universal yang mirip-mirip dengan negara fasis.
            Cara lain yang menandai pemikiran para tokoh tersebut adalah sikap mereka yang anti-Barat. Para tokoh tersebut memandang Barat sebagai musuh islam. Karena itu, apa yang datang dan Barat semua itu harus ditolak, karena tidak sesuai dengan kepribadian islam. Umat muslim harus kembali pada ajran agama mereka secara utuh. Khomeini Barat (Amerika) dan menjulukinya dengan “Setan Besar”.[10]
            Tokoh yang dapat dimasukkan kedalam kelompok kedua bahwa agama harus dipisahkan dengan  negara, dengan argumen  Nabi Muhammad SAW yang  tidak pernah memerintahkan untuk mendirikan  negara. Terbentuknya negara dalam  masa awal islam hanya faktor alamiah dan bistoris dalam kehidupan  masyarakat, sehingga tidak perlu umat islam  mendirikan  negara islamiyah[11]. Kelompok ini di wakili oleh Ali Abd al-Raziq ( 1888-1996 M ), Thaha Husein ( 1889-1973 M ), dan Mustofa Kemal Ataturk ( 1881-1938 M ). Ali Abd al-Raziq memandang, bahwa islam tidak memiliki tata aturan mengenai politik. Sementara Thaha Husein menuangkan pemikirannya antara lain dalam karyanya yang berjudul Mustaqbul al-Tsaqafah fi Mishr. Ia menyatakan bahwa supaya Mesir dan umat muslim pada umumnya dapat meraih kemajuan, maka jalan satu-satunya ialah dengan meniru dan mengadopsi peradaban barat.
            Musthafa Kemal malah berangkat lebih jauh dari dua tokoh tersebut. Ia melakukan sekularisasi besar-besaran dengan mengikui bangsa Barat dalam segala aspek dan membuang warisan budaya islam. Ia meninggalkan bahasa Arab sebagai bahasa umat islam, mengganti Aksara bahasa Arab dengan aksara Latin, mengganti azan dengan bahasa Turki, mengadopsi hukum-hukum Barat serta menghapuskan lembaga-lembaga keagamaan yang pernah ada didunia islam.
            Tokoh-tokoh yang termasuk dalam kelompok ketiga adalah Muhammad Abduh ( 1849-1905 M ), Muhammad Iqbal ( 1887-1938 M ), Muhammad Husein Haykal ( 1888-1956 M ), Muhammad Natsir ( 1908-1993 M ), dan Fazlur Rahman ( 1919-1988 M ). Muhammad Abduh berpendapat bahwa kepada kepala negara adalah penguasa sipil yang diangkat dan diberhentikan oleh manusia. Memang, lanjud Abduh, islam juga mengatur hukum-hukum mengenai masalah-masalah hubungan antara sesama manusia. Agar hukum tersebut dapat berjalan efektif, maka dibutuhkan seseorang pemimpin atau kepala negara untuk melaksanakan serta mengewasi pelaksanaannya. Namun demikian kepala negara bukanlah negara bukanlah wakil Tuhan, melainkan hanya pemimpin politik. Karenanya, ia tidak memiliki kekuasaan keagamaan seperti dalam agama Kristen. Pandangan ini juga diantut oleh Muhammad Husein Haykal, murid Abduh. Pandangan Haykal antara lain terlihat dalam karyanya al-Hukumah Al-islmaiyya. Menurutnya islam hanya meletakkan prinsip-prinsip bagi peradaban  manusia, termasuk masalah  kenegaraan. Islam tidak memiliki sistem pemerintahan yang bagaimana, asalkan tidak bertentangan dengan prinsip yang digariskan Islam.
            Sementara Iqbal, selain mengelaborasikan nilai-nilai ajaran Islam tentang kenegaraan, juga melakukan kajian kritis terhadap berbagai idiologi Barat. Pandangan politik Iqbal antara lain tertuang dalam karyanya The Reconstrution of Relegious Thought in Islam. Iqbal dapat menerima sosialisme, ia menolak komunisme- atheisme dan  demikrasi Barat. Komonisme-atheisme bertentangan dengan nilai-nilai kemanusia dan keTuhanan. Demokrasi Barat juga dikecam Iqbal karena tidak memiliki landasan hubungan vertikal kepada Allah, sehingga cenderung mengeksploitasi manusia. Iqbal menerima demokrasi asalkan karat-karat nodanya dibersihkan terlebih dahulu. Dalam beberapa hal, pandangan Iqbal dikembangkan oleh Fazlur Rahman, seperti dalam tulisannya berjudul Implementation of the Islamic Concept of State in the Pakistan Millue.[12]
            Di Indonesia pandangan kelompok ketiga diwakili oleh Muhammad  Natsir. Menurtutnya, islma berbeda dari agama lainnya, juga mengandung peraturan hukum-hukum tentang kenegaraan. Untuk menjamin  keberlakuan hukum dan peraturan tersebut, maka islam membutuhkan lembaga pemerintahan. Namun  islam tidak memberi ketentuan yang baku tentang bagaimana bentuk negara yang harus dilakukan oleh umat Islam. Oleh karena itu, umat islam diberikan kebebasan sepenuhnya untuk berkreasi menentukan bentuk negara dan sistem pemerintahan yang cocok dengan situasi dan kondisi yang berkembang.
            Ada juga tokoh yang  mengkaji siyasah dalam bidang tertentu saja, seperti hubungan internasional dan hukum perang. Ini dilakukan umpamanya oleh Muhammad Abu Zahrah dalam karyanya al-Alaqah al-Dauliyah fi al-Islam, Ali Ali-Mansyur dalam bukunya al-Syari’ah al-Islamiyah wa al-Qanun al-Dauli al-Amm, Umar Kamal Tawfiq dalam tulisannya al-Diblumasiah al-Islamiah serta Wahabbah al-Zuhaili,Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Islam, Fahmi Huwaydi dalam karyanya berjudul Al-islam wa al-Dimuqrathiyah, dan Abdullah Ahmed an Na’im yang pemikirannya lebih konsen pada islam dan isu-isu hak asasi manusia. Dari kelompok Syi’ah antara lain karya yang dapat disebutkan antara lain adalah The just ruller in shi’ite Islam karya Abdulaziz A. Sachedina.[13]



















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Sejarah perkembangan siyasah dapat kami simpulkan yaitu terbagi atas tiga periode perkembangan, yakitu periode klasik, pertengahan dan periode modren.
1.      Periode klasik
Periode klasik dimulai pada abad ke 6 sampai abad ke 12 (661 M – 1258 ) pada periode ini terdapat dua dinasti, yaitu Bani Umayyah  ( 661-750 M ) dan Bani Abbasiyah. Pada masa klasik ini terdapat beberapa ilmuan siyasah yang berpengaruh didalam perkembangan siyasah pada masa itu, yaitu :
a.       Ibn Abi Rabi`. Ia memepersembahkan karyanya yang berjudul Suluk al-Malik fi Tadbir al- Mamalik. ( pedoman bagi raja dalam menjalankan pemerintahan )
b.      Al- Farabi ( 257-339 H ) nama aslinya ialah Abu Nashr Muhammad Ibn Muhammad Aujalah lahir di Farab 257 H atau 870 M. Meninggal di Damaskus pada usia 80 tahun
c.       Al-Mawardhi ( 364-450 H ) nama asilinya ialah Abu al-Hasan Ali Ibn Habib al-Mawardhi dengan kitab al-Hakam al-Sultaniyah fi al-Wilayah al-Diniyah.
d.      Al-Ghazali ( 450-505 H ) nama asli beliau adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali , lahir di Ghazaleh ( Kharasan ) pada tahun 1059 M atau 450 H.
Ciri-ciri pemikiran para ahli pada periode klasik ini diantaranya :
a.       Adanya pengaruh unsur pemikiran alam yunani, terutama pada pandangan Plato terhadap asal usul negara.
b.      Pemikiran politik berkembang lebih berpijak pada kondisi real sosial politik yang terjadi.
2.      Periode pertengahan
Masa pertengahan dimulai pada abad 13 sampai abad 19, yaitu diawali dari jatuhnya Dinasti Abbasiyah oleh bangsa Mongol, sampai munculnya masa kolonialisme. Ilmuan yang hadir pada masa pertengahan adalah :
a.       Ibn Taimiyah ( 661-728 H ) beliau lahir pada 22 januari 1236 atau 10 rabiul awal 661 H, dan dia meninggal pada 1328 H. Dengan kitabnya : al-Siyasah al-Syariah fi islan Al-Rawi’ wa al-Ra`iyah.
b.      Ibn Khaldun (1362-1406 M )
Lahir di Tunnisia 1 Ramadhan 723 M dan beliau meninggal pada 26 ramadhan 808 M.dengan kitabnya muqaddimah.
3.      Periode moderen
a.       Kelompok 1 Di antara tokoh yang termasuk dalam kelompok pertama adalah Muhammad Rasyid Ridha ( 1865-1935 M ), Hasan al-Banna ( 1906-1966 M ) Abu al-A’la al-Maududi ( 1903-1979 ), Sayyid Quthb ( 1906-1966 M ), dan Ayatullah Khomeini ( 1900-1989 M ).
b.      Kelompok 2. Kelompok ini di wakili oleh Ali Abd al-Raziq ( 1888-1996 M ), Thaha Husein ( 1889-1973 M ), dan Mustofa Kemal Ataturk ( 1881-1938 M ).
c.       Tokoh-tokoh yang termasuk dalam kelompok ketiga adalah Muhammad Abduh ( 1849-1905 M ), Muhammad Iqbal ( 1887-1938 M ), Muhammad Husein Haykal ( 1888-1956 M ), Muhammad Natsir ( 1908-1993 M ), dan Fazlur Rahman ( 1919-1988 M ).
















DAFTAR PUSTAKA
A. Fadhil Lubis Nur, 1995,Hukum Islam dalam kerangka teori fiqih dan tata hukum indonesia,  Medan : Pustaka Widyasarana.
Ibnu Mujar Syarif, dkk,2008, Figh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, Jakarta : PT Gelora Aksara Pratama
Iqbal Muhammad ,2016, Fiqh Siyasah Konstektualisi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Prenadamedia Group.
Sjadzali Munawir, 1991 , Islam dan Tata Negara ajaran, sejarah dan pemikiran, Jakarta : UI-Press.
























Pertanyaan-pertanyaan yang timbul didalam diskusi
1.      Pertanyaan dari Ikbal Hanafi Lubis “ Kenapa pembagian sejarah berkembangannya siyasah dibagi tiga?”
Jawaban : “karena pada perkembangan sejarah islam itu sendiri sangat lama, maka dari itu kami pemakalah dengan beberapa sumber literatur yang kami dapatkan bahwasanya perkembangan Islam terkhusus pada perkembangan Siyasah itu dibagi atas tiga periode, yakni periode klasik (661-1258), pertengahan (abad 13-19) dan moderen (abad 19-sekarang)”.
2.      Muhammad Faisal Khairullah Ritonga “ Siapa saja tokoh-tokoh yang berperan dalam perkembangan siyasah itu sendiri ?“
Jawaban :” seperti yang telah kami sampaikan sebelumnya bahwa tokoh-tokoh yang berperan dalam perkembangan siyasah ini ialah Ibnu Abi Rabi`, Alfarabi, al-Mawardhi, al-Ghazali (klasik), Ibnu Taimiyyah,Ibnu Khaldun (pertengahan) dan M.Rasyid Ridho, M.Abdu,M.Iqbal, M.Natsir, dan sebagainya yang telah kami paparkan dipapan tulis.”
3.      Lisdayanti Harahap “ kenapa pada masa moderen para tokohnya dibagi tiga ? “
Jawaban : baik, pertanyaan yang bagus dari saudari lisdayanti, dalam periode klasi, kami pemakalah membagi para tokoh tersebut didalam tiga golongan, hal ini dilandasi oleh pemikiran tokoh tersebut tentang siyasah tersebut. Pada golongan pertama itu disebut golongan Integlaris dengan ciri pemikirannya dipengaruhi oleh pemikiran barat. Golongan yang kedua disebut sekuler, dengan pemikirannya memisahkan antara agama dengan politik, serta kelompok yang ketiga adalah simbiotik yaitu ciri pemikirannya respown ulama terhadap barat. Dan dengan tokoh-tokohnya telah kami sampai kan pada pertanyyan sebelumnya dan juga telah kami paparkan dipapan tulis.’’
4.      Muhammad Riski Anwar “ bagaimana perbedaan ciri-ciri pemikiran siyasah ditiap zamanya?
Jawaban : terima kasih atas pertanyaan saudara, jadi dari yang telah kami paparkan dapat kita ambil kesimpulan bahwasanya perbedaan tidaklah begitu jauh, yakni antara klasik dan moderen cenderung pemikirannya lebih sama, kemudian baru pada zaman modren telah mulai berubah yakni dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran politik barat”.


[1] Nur A. Fadhil Lubis, Hukum Islam dalam kerangka teori fiqih dan tata hukum indonesia, ( Medan : Pustaka Widyasarana,1995 ) hal.38
[2] ibid
[3] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Konstektualisi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), h. 21
[4] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Konstektualisi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), h. 21-23.
[5] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara ajaran, sejarah dan pemikiran, ( Jakarta : UI-Press, 1991 ) hal : 42
[6] Ibid., h. 26.
[7] Muhammad Iqbal, “Fiqh Siyasah Kontektualisasi Doktrin Politik Islam”, (Jakarta, Prenada Media Group,2014) halm 26-29
[8] Muhammad Iqbal, “Fiqh Siyasah Kontektualisasi Doktrin Politik Islam”, (Jakarta, Prenada Media Group,2014) halm 29
[9]  Mujar Ibnu Syarif, dkk, “Figh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam”, (PT Gelora Aksara Pratama,2008) halm 39
[10] Muhammad Iqbal, “Fiqh Siyasah Kontektualisasi Doktrin Politik Islam”, (Jakarta, Prenada Media Group,2014) halm 30
[11] Mujar Ibnu Syarif, dkk, “Figh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam”, (PT Gelora Aksara Pratama,2008) halm 41-42
[12] Muhammad Iqbal, “Fiqh Siyasah Kontektualisasi Doktrin Politik Islam”, (Jakarta, Prenada Media Group,2014) halm 32
[13] Muhammad Iqbal, “Fiqh Siyasah Kontektualisasi Doktrin Politik Islam”, (Jakarta, Prenada Media Group,2014) halm 31-33

Tidak ada komentar:

Posting Komentar