MAKALAH
FIQIH SIYASAH
DI SUSUN OLEH :
FADHEL MAHMED AZZUHDI (0204161001)
DOSEN PEMIMBING : Dr. MUHAMMAD IQBAL, M.A
FAKULTAS SYARIAH DAH HUKUM
JURUSAN MUAMALAH 2A
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah
S.W.T. yang mana atas berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah berjudul, “ PERIODE PERKEMBANGAN FIQIH SIYASAH“ ini dengan baik,
meskipun masih jauh dari sempurna.
Shalawat berangkaikan salam tak lupa
pula kami hantarkan kepada jujungan kita yakni Nabi Muhammad S.A.W. yang telah
membawa kita semua dari alam kejahilan menuju kealam yang terang menerang
seperti yang kita rasakan saat ini.
Tak lupa pula kami ucapkan terimakasih
kepada dosen pembimbing yang telah membimbing kami dalam menyelesaikan makalah
ini yang berjudul “PERIODE PERKEMBANGAN FIQIH SIYASAH “. Kami sadar dalam
penulisan makalah ini, masih banyak kekurangan, untuk itu, kami mengharapkan
saran dan kritik yang bersifat membangun.
Medan, September 2017
Penulis
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar........................................................................................i
Daftar isi..................................................................................................ii
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang
1
B.
Rumusan Masalah
1
BAB II pembahasan
A.
Sketsa Historis perkembangan fiqih siyasah.......................................................................3
B.
Periode klasik
4
C.
Periode pertengahan...........................................................................................................7
D.
Periode moderen................................................................................................................9
BAB III Penutup
1.
Kesimpulan
13
2. Daftar pustaka
15
BAB
1
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Sebelum
kita mengakaji lebih jauh tentang fiqh siyasah, maka dari itu kita membahas
tentang sejarah perkembangan ilmu siyasah itu sendiri, dimana terdapat beberapa
periode perkembangan yaitu ada pada masa klasik, pertengahan dan pada masa
moderen.
Dan
selain itu, hal yang melatar belakangi di dalam pembuatan makalah ini adalah
beban kuliah yang diberi dosen pengampu pada mata kuliah fiqh siyasah, demi
untuk mencapai sebuah sistem perkuliahan yang baik, terarah dan memiliki
pengetahuan yang lebih baik lagi.
B.
Rumusan masalah
Adapun
yang menjadi rumusan masalah yang kami bahasa ialah :
1.
Perkembangan fiqih siyasah pada masa
klasik
2.
Perkembangan fiqih siyasah pada masa
pertengahan
3.
Perkembangan fiwih siyasah pada masa
moderen
BAB
II
PEMBAHASAN
Sebelum
menggali lebih jauh dari perkembangan fiqih siyasah itu sendiri, alangkah
baiknya kita mengenal sedikit apa itu yang dimaksud dengan fiqih siyasah. Istilah
siyasah syar`iyyah berbagai
maksud dan arti. Secara bahasa, frasa ini berarti kebijakan yang beriorentasi
pada syariah, pemerintahan sesuai dengan pprinsip syariah. Inilah arti yang
paloing luas dalam arti terbebas kompleksitas perkembanhan pemikiran dan
penerapan dalam kitab-kitab fiqih sesudahnya. Dalam arti literalnya, siyasah
mencangkup seluruh kebijakan pemerintahan, apakah ia didalam bidang yang diatur
jelas oleh syariat ataupun tidak.
Menurut
Para ahli fiqih, siyasah mengandung arti keputusan dan langkah kebijakan yang
diambil oleh pemimpin dalam permasalahan yang tidak diatur secara spesifik oleh
syariah, dalam pengertian ini siyasah syariah sebagai mana diamati oleh para khallaf,
paling banyak didasarkan atas dasar
prinsip kemashlahatan umum (mashlahat al-`ammah ) yang tidak diatur
secara jelas oleh syar`i. Dengan kata lain, istilah ini mengandung arti
pengaturan urusan publik dalam pemerintahan islam yang ditujukan guna
mewujudkan kepentingan masyarakat dan menghindarkan terjadinya kemudharatan
sejalan dengan prinsip umum syariat meskipun tidak selalu sesuai dengan
ketentuan tekstual khusus. Siyasah dalam pengertian ini dapat berarti
pengambilan kebijakan dan pengesahan undang-undang dalam seluruh aspek
pemerintahan, baik dalam negeri ataupun luar negeri, permasalahan
konstitusional, fiskal, pemerintahan atau peradilan. Jadi, setiap langkah yang
diambil untuk memastikan suatu pengaturan urusan publik supaya efektif termasuk
dalam katagori siyasah syariah.[1]
Menurut
Ibn al-Qayyim, siyasah syari`ah tidak harus sesuai dengan ketentuan
ekspilisit syariat. Ulama terkenal ini menyatakan bahwa setiap langkah yang
secara aktual membawa manusia lebih dekat dengan kebaikan dan lebih jauh dari
kerusakan merupakan bagian dari siyasah yang adil meskipun hal itu tidak
disuruh lansung oleh Nabi S.A.W. serta tidak diatur oleh Wahyu. “siapapun yang
berkata bahwa tidak ada siyasah syaria`h dalam kasus yang diatur secara
ekplisit oleh syariat adalah keliru dan telah salah memahami para sahabat. (
Ibn al-Qayyim, 1961:16 )[2]
A. Sketsa
Historis Perkembangan kajian fiqih siyasah
Dalam sejarah Islam, siyasah
(politik) telah di praktikan oleh Nabi Muhammad S.A.W setelah beliau berada di
Madinah. Di sini Nabi menjalankan dua fungsi sekaligus; sebagai rasul
utusan Allah dan kepala negara di
Madinah. Dalam fungsi keduanya ini, Nabi mengatur kepentingan umatnya
berdasarkan wahyu yang di turunkan Allah kepadanya. Hal ini di jalankan sukses
oleh beliau selama sepuluh tahun (622-632 M). Setelah beliau wafat, fungsi nkedua ini di lanjutkan oleh al-Khulafa' ar-Rasyidun. Permasalahan
siyasah (Khalifah), yakni siapa yang berhak menggntikan beliau setelah wafat,
inilah yang menjadi akar perdebadan di kalangan umat Islam. Akhirnyaa,
disepakatilaah Abu Bakaar al-Siddiq sebagai pengganti Nabi Muhammad S.A.W.
Peristiwa Tsaqifah ini
mengisyaratkan betapa permaasalahan siyasah ini sangat krusial dan sensitif,
sehingga membutuhkan penanganan yang bijak dan adil. Untunglah Abu Bakar dan
'Umar bin Khattab yangg kemudian menggantikannya mampu menjalankan pemerintahannya
dengan baik, sihingga memuaskan masing-masing kelompok di dalam tubuh umat
Islam. Dua Khalifah ini berhasil meminimalisir perbedaan pendapat tersebut
sehingga dapat meredam gejolak dan goncangan yang mungkin terjadi.[3]
Namun memasuki pemerintahan 'Utsman
bin 'Affan, tepatnya enam tahun kedua kepemimpinanya, gejolak tersebut akhirnya
muncul juga kepermukaan. 'Utsman di anggap tidak becus memimpin negara Madinah dan terlalu mementingkan
keluarga besarnya saja. Ia juga tidak mampu menahan ambisi anggota keluarganya
yang memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan mereka sendiri. Akhirnya
berbagai daerah melalukan pemberontakan yang mengakibatkan 'Utsman tewas di
tangan umat Islam sendiri, keadaanpun semakin kacau dan tidak terkontrol ketika
'Ali ibn Abi Thalib di angkat oleh sebagian umat Islam untuk menggantikan
posisi 'Utsman. Kondidi 'A'isyah, Thalhah dan Zubeir melakukan perlawanan
terhadap 'Ali. Sementara Mu'awiyah dari keluarga 'Utsman menuntut 'Ali
bertanggung jawab atas kematian 'Utsman dan meminta agar pembunuh 'Utsman
diadili. Mu'awiyah yang di pecat dari gubernur Syam oleh 'Ali, bahkan menyusun
kekuatan melawan 'Ali. Akhirnya terjadilah peperangan antara 'Ali dengann kedua
kelompok oposisi ini. Perlawanan trio 'A'isyah, Thalha dan Zubeir dapat di
padamkan oleh 'Ali. Tapi Mu'awiyah cukup kuat, sehingga 'Ali terpaksa menguras
tenaga untuk memadamkannya. Banyak pasukannya yang gugur di perang Shiffin
melawan Mu'awiyah. Ketika kemenangan hampir berada di tangan 'Ali, tiba-tiba
'Amr ibn al-'Ash dari kelompok Mu'awiyah mengacungkan mushaf al-Qur'an mengajak
'Ali mengadakan gencatan senjata dan bertahkim untuk menyelesaikan perselisihan
di antara dua kelompok ini.
Akan
tetapi tahkimpun tidak menyelesaikan masalah. 'Amr yang mewakili Mu'awiyah
ternyata sangat lihai dan licik mengelabui utusan 'Ali, Abu Musa al-Asy'ari.
Hasil tahkim hanya menguntungkan Mu'awiyah tidak memuaskan 'Ali. Namun, 'Ali
mau tidak mau harus tunduk kepada keputusan tersebut. Melihat keadaan ini,
sebagian kelompok 'Ali keluar dan membentuk kelompok sendiri yang di kenal
dengan Khawarij.
Dari pertentangan di atas, akhirnya
umat Islam terpecahkankan menjadi tiga kekuatan politik, yaitu kelompok
Mu'awiyah yang akhirnya menguasai pentas politik Islam dan menjadi mayoritas,
kelompok pendukung 'Ali (Syi'ah) dan Khawarij. Sebenarnya masih ada satu
kelompok lagi yang tidak mau melibaykan dirinya dalam kegiatan politik, yaitu
Mu'tazilah. Mereka bersikap netral dan tidak mendukung pihak manapun.
Masing-masing kelompok ini mempunyai pandangan dan pemikiran politik sendiri
yang berbeda antara satu sama lainnya, pemikiran politik mereka hanyalah
merupakan respons spontan perkembangan yang terjadi. Namun daam perkembangan
selanjutnya, pemikiran mereka di susun secara sistematis, sehingga menjadi satu
gagasan utuh. Kelompok-kelompok tersebut, melalui para pemikir praktisi
politiknya, menuliskan gagasan mereka untuk mengembangkan paradigma kelompok
mereka dan menolak seramham dari kelompok lainnya. Dalam sejarah Islam,
perkembangan fiqh siyasah secara sederhana dapat di bagi ke dalam periode
klasik yang berlangsung hingga 1258 M, periode pertengahan yang berakhir pada
abad ke-19 dan periode modern hingga sekarang[4]
1. Periode
klasik
Ciri
yang menandai perkembangan kajian fiqih siyasah pada periode klasik adalah
kemapaman yang terjadi didunia islam. Secara politik, islam memegang kekuasaan
dan pengaruhnya di pentas internasional, pada periode ini terdapat dua dinasti,
yaitu dinasti Bani Umayyah (661-750 M ) dan Bani Abbas ( 750-1258 M ). Pada
masa kekuasaan Bani Umayyah, kajian fiqih siyasah masih belum muncul. Bani
Umayyah masih mengarahkan kebijaksanaan politiknya pada pengembangan wilayah
kekuasaan. Memang ada kelompok oposisi, sepeti Khawarij dan Syia`h pada masa
ini, tetapi tidak mempunyai pengaruh yang kuat. Pemikiran dan gerakan mereka
cenderung radikal dan ekstrim dalam mementang kekuasaan Bani Umayyah. Pada masa
Daulah Bani Abbas barulah kajian fiqih siyasah ini mulai dikembangkan. Namun
demikian kuatnya pengaruh negara membuat kajian yang dikembangkan oleh para
ulama ketika itu cenderung mendukung kekuasaan lain. Inilah yang terjadi
dikalangan ulama Sunni pada umumnya.
Ulama
Sunni yang dianggap pertama kali menulis tentang kitab siyasah ini adalah Ibn
Abi Rabi`. Ia memepersembahkan karyanya yang berjudul Suluk al-Malik fi
Tadbir al- Mamalik. ( pedoman bagi raja dalam menjalankan pemerintahan )
kepada Khalifah al-Mu`tashim khalifah Abbasiyah yang memerintah pada abad IX M
( 833-842 M )[5].
Sebaagai “ buku persembahan “, tentu karangannya tidak dapat diharapkan memberi
koreksi terhadap penguasa. Buku ini tidak mempertanyakan secara monarki secara
turun temurun, bahkan mendukungnya. Ibn Abi Rabi` pun memuji-muji Al-Mu`tashim
sebagai Khalifah yang adil, bijak sana, dan mampu memberikan kesejahteraan bagi
rakyatnya. Karena itu, Ibn Abi Rabi` menekankan kepatuhan mutlak rakyat kepada
khalifah selaku kepala negara. Meskipun demi kian Ibn Abi Rabi` mengembangkan
pemikirannya dengan mengadopsi beberapa pemikiran filsuf Yunani. Ketika
berbicara tentang asal mula timbulnya negara, misalnya, Ibn Abi Rabi` mendukung
pendapat Plato yang menyatakan bahwa manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan
sendiri tampa bantuan orang lain. Ini merupakan awal timbulnya kerja sama
antara sesama manusia yang pada gilirannya akan membentuk negara.
Pandangan
Ibn Abi Rabi` dalam beberapa hal juga mendapat dukungan dari al-Ghazali
(1058-1111 M ). Dalam kitabnya al-Iqtishad fi al-I`tiqad, al-Ghazali
menyebutkan bahwa kekuasaan kepala negara adaah kudus ( suci ). Kerenanya, umat
tidak boleh memberontak kepada kekuasaan. Berbeda dengan mereka berdua,
al-Mawardi ( 975-1059 M ). Masih memungkinkan memecat kepala negara dari
jabatannya. Al-Mawardi juga mengemukakan teori “ kontrak sosial “ antara kepala
negara dan rakyatnya. Karena kepala negara diangkat melalui kontrak sosial,
maka al-Mawardi meniscayakan adanya pemberhentian kepala negara dari
jabatannya.
Sebagai
wujud pembelaan mereka terhadap kekuasaan, kalangan ulama Sunni umumnya
menetapkan sarat Quraisy untuk menjadi kepala negara. Ini wajar, karena ketika
itu pucuk kekuasaan umat Islam pada masa itu ialah berada ditangan suku
Quraisy, disamping adaya ketentuan hadist Nabi yang menyebutkan hal ini.
Diantara mereka ada yang secara tegas menyebutkannya, seperti al-Baqillani (
w.1013 M ), al-Mawardi dan al-Ghazali. Sementara Ibn Abi Rabi` tidak
membahasnya karena pada masa itu Quraisy sedang kuat dan jaya.
Berdasarkan
kenyataan ini Harun Nasution menyimpulkan bahwa teori politik Sunni abad klasik
ini cenderung memberi legitimasi terhadap kekuasaan. ini wajar, karena pada
umumnya tokoh fiqh siyasah pada masa ini berada di lingkaran kekuasaan. sebagai
contoh, al-Mawardi adalah salah seorang pejabat bpenting dalam pemerintahan
Bani Abbas. agaknya, hanya al-Farabi (870-950 M) yang memiliki pemikiran
berbeda dari tokoh-tokoh di atasnya. sebagai filsuf, pemikiran poliknya lebih
banyak bersifat idealistis dan cenderung utopia. di samping itu, perkenalnya
dengan pemikiran-pemikiran Yunani kuno juga memperlihatkan pengaruh tokoh-tokoh
filsuf Yunani, seperti Plato, dalam pemikiran politiknya. Gagasan politiknya
antara lain tertuang dalam karyanya Ara'
Ahl aal-Madinah al-Fadhilah (pandangan para penghuni negara utama).
pengaruh Plato jelas sekai dalam
pandangan al-Farabi ketika iaa membagi warga negara dalam tiga kelas sosial,
yaitu kelas pemimpin, kelas tentara (militer) dan kelas rakyat jelata.
Menurutnya, kepala negara haruslah seorang filsuf, karena filsuflah yang dapat
manusia ke dalam kebaikan dan hikmah.
di sisi lain, Syi'ah Khawarij dan
Mu'tazilah juga mengembangkan gagasan politik masing-masing. Syi'ah selalu
memprogandakan pandangan tentang keutamaan 'Ali dan keluarganya sebagai
khalifah serta doktrin kemaksuman imam. Kemudian pada masa al-Mu'tamid (869-892
M) berkuasa, mereka mengembangkan doktrin kegaiban imam. Menurut mereka, imam
mereka yang kedua belas, yaitu Muhammad al-Mahdi, yang ketika itu berumur 5
tahun, menghilang di Gua Samarra, Irak pada 873 M. Meski tampil sebagai
oposisi, kaaum Syi'aah juga pernah mendirikan kerajaan sendiri yang lepas dari
pengaruh Abbasiyah, yaitu Bani Buwaihi di Baghdad dan Daulah Fathimiyah di
Mesir.
Adapun Khawarij, karena sikap
ekstrem dan radikal mereka, tidak terlalu begitu berpengaruh dalam pentas
politik. Pemikiran politik mereka tidak tersusun secara sistematis dalam sebuah
karya. Namun demikian, pemikiran mereka sendiri sikit banyaknya di adopsi dan
di kembangkan secara sistematis oleh Mu'tazilah. Salah seorang tokoh penting di
kalangan Mu'tazilah ini adalah Qadhi 'Abd al-Jabbar. Ia menulis kitab Syarah Ushul al-Khamsah dan al-Mughni,
yang dalam beberapa bagian membahas tentang pemikiran politik Mu'tazilah.
Berbeda dengan kalangan Sunni yang menganggap Imamah (Kepemimpinan) kewajiban Syar'i,
Mu'tazila, begitu juga Khawarij, memandang bahwa penegakkan institusi Imamah hanyalah berdasarkan akal.
Karenanya kepala negara bukanlah orang yang tidak punya salah seperti pandangan
Syi'ah, juga tidak harus dari Quraisy, seperti klaim dari kelompok Sunni. Siapa
saja, menurut 'Abd al-Jabbar, asalkan memiliki kemampuan dan syarat yang cukup,
dapat menjadi kepala negara.
Dari pandangan kelompok di atas
dapat di tarik bvenang merah bahwa pemikiran politik pada periode klasik ini
pada umumnya di warnai oleh kepentingan golongan. Dalam hal ini kelompok Sunni
mendominasi pencaturan politik ketika itu dan para pemikir politiknya
mengembangkan doktrin-doktrin mereka di bawah petronase kekuasaan. SEjalan
dengan meningkatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan transfer ilmu asing
(terutama Yunani Kuno) ke dalam Islam, gagasan-gagasan politik pada abad klasik
ini juga di tandai dengan pengaruh asing.[6]
2. Periode
pertengahan
Periode
pertengahan ditandai dengan runtuhnya kerajaan Abbasiyah pada 1258 M di tangan
tentara Mongol. Pada masa ini, kekuasaan politik Islam mengalamai kemunduran.
Kerena itu, kecendrungan pemikiran politik Islam juga mengalami perubahan.
Tokoh yang mengalami tragedi lansung penyerangan tentara Mongol ke Baghdad
adalah Ibn Taimiyah ( 1263-1329 M ). Ia lahir di Harran, dekat Damaskus, Hanya
lima tahun setelah peristiwa tersebut. Bahkan ketika berumur enam tahun Ibn
Taimiyah harus dilarikan ayahnya untuk mengungsi menghindarkan kekejaman
tentara Mongol yang mulai bergerak menuju kota Harran. Pengalaman pahit ini
sangat membekas dalam kepribadian Ibn Taimiyah dan memengaruhi pemikiran
politiknya.
Kajiannya
tentang fiqih siyasah inni tertuang antara lain dalam kitab al-Siyasah
al-Syar`iyyah fi Ishlah al-Ra`iwa al-Ra`iyyah, Majmu al-Fatawa dan Minhaj
al-Sunnah al-Nabawiyyah. Meskipun
lahir dikalangan Sunni dan penganut mazhab Hambali, Ibn Taimiyah memiliki
pemikiran siyasah yang sedikit berbeda dengan pemikir Sunni abad klasik.
Berbeda dengan pemikiran Sunni sebelumnya, Ibn Taimiyah tidak memandang
institusi imammah sebagai kewajiban syar`i , tetapi hanya
kebutuhan praktis saja. Ibn Taimiyah pun tidak mengungkapkan secara tegas
syarat Quraisy sebagai kepala negara. Ia hanya menegaskan dua syarat menjadi
kepala negara, yaitu kejujuran ( al-Amanah ) dan kewibawaan atau
kekuatan ( al-quwwah ).
Kedua
hal ini merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Dengan kedua syarat ini
akan tercipta keadilan dalam masyarakat, yang merupakan cita-citan dan tujuan
syariat Islam. Namun Ibn Taimiyah mengakui bahwa sedikit sekali manusia yang
bisa memenuhu kualifikasi ini sekaligus. Karenanya, ia menekankan kepada syarat
al-Quwwah yang lebih utama.
Sebab, bila ia saleh tapi lemah, maka kesalehannya hanya berguna untuk dirinya
sendiri, sedangkan kelemahannya sangat berbahaya bagi masyarakatnya.
Sebaliknya, ia kuat meskipun jahat, maka kejahatannya terpulang kepadanya,
sementara kekuatannya sangat berguna bagi umat Islam ( rakyat ).
Pemikir
Sunni lainnya yang juga membahas siyasah adalah Ibn Khaldun ( 1333-1460 M ).
Pandangan politiknya antara lain tertuang dalam karyanya al-Muqaddimah. Di
antara tesisnya yang berbeda dengan para pemikir Sunni lainnya adalah
interpretasinya yang kontekstual terhadap Hadis Nabi yang mengsyaratkan suku
Quraisy sebagai kepala negara. Ia menganggap Hadist ini bersifat kondisional.
Karenanya , suku mana saja bisa memegang posisi puncak kekuasaan pemerintah
Islam, selama ia memiliki kemampuan dan kecakapan. Jadi syarat suku Quraisy
bagi Ibn Khaldun bukanlah “harga mati “. Seperti halnya Ibn taimiyah, pandangan
Ibn Khaldun ini juga dimaksudkan sebagai antisipasi terhadap kondisi politik
dunia Islam yang terpecah, pada masa Ibn Khaldun, perpecahan dunia Islam
semakin parah. Kekuasaan Islam di Spanyol sudah semakin lemah dan umat Islam di
sana dipaksa masuk Kristen atau diusir dari Spanyol. Periode ini dapat dikatakan
sebagai fase kemunduran dunia Islam. Ibn Khaldun menyaksikan lansung keadaan
ini, bahkan menjadi pelaku dalam dunia politik Islam ketika itu.
Satu
lagi pemikir politik pada masa ini adalah Syah Waliyullah al-Dahlawi (
1702-1762 M ). Berbeda dengan para pemikir siyasah sebelumnya, Syah Waliyullah
membenarkan pembangkangan rakyat kepada kepala negara yang tiran dan zalim.
Syah Waliyullah bahkan menegaskan bahwa pemerintahan pada periode pasca- al-
Khulafa` al- Rasyidun hanyalah berbeda sedikit dengan kerajaan Romawi dan
kekaisaran Persia. Kerenanya, untuk mengembalikan pemerintahan pada masa Nabi
dan Khalifah yang empat tersebut, Syah Waliyullah membenarkan pembangkangan
terhadap kepala negara yang tidak sesuai dengan cita-cita politik Islam.[7]
3. Periode
moderen
Periode modern
ditandai dengan lemahnya dunia islam di bawah penjajahan bangsa-bangsa Barat.
Hampir semua negara muslim berada di bawah
imperialisme/penjajahan dan kolonialisme Barat. Disamping menjajahan
dunia muslim, Barat juga mencoba mengembangkan pemikiran-pemikiran politik dan kebudayaan mereka tentunya tidak
terlepas dari pengaruh sekularisme, yang masuk ke tengah-tengah umat islam.
Disisi lain, dunia islam sendiri tidak mampu menyaingi keunggulan Barat dalam
bidang sains, terutamanya bidang teknologi, ilmu pengetahuan, ekonoomi, serta
bidang organisasi politik. Mengatasi ancaman dari Barat tersebut, sebagaian
pemikiran Muslim ada yang bersikap apriori dan anti-Barat, ada yang secara
mentah-mentah meniru Barat serta menjadikannya sebagai prototipe bagi kehidupan
Muslim, dan ada pula yang mencoba belajar dari Barat dan secara selektif
mengambil nilai-nilai Barat yang positif, yang tidak bertentangan dengan islam.[8]
Kecenderungan yang
seperti ini membuat sebagian pemikiran
ada yang mencoba meniru Barat, ada juga menolak Barat dan menghendaki kembali kepada kemurnian Islam.
Maka, dalam periode ini ada tiga kecendrungan islam yaitu integralisme,
interseksion, dan sekularisme.[9]
Di antara tokoh
yang termasuk dalam kelompok pertama adalah Muhammad Rasyid Ridha ( 1865-1935 M
), Hasan al-Banna ( 1906-1966 M ) Abu al-A’la al-Maududi ( 1903-1979 ), Sayyid
Quthb ( 1906-1966 M ), dan Ayatullah Khomeini ( 1900-1989 M ) dari kalangan
Syi’ah. Mereka melihat islam merupakan swalayan yang telah menyediakan segala kebutuhan
manusia dan manusia hanya tinggal melaksanakan ketentuan tersebut. Pemikiran
Rasyid Ridha antara lain dapat dilihat dalam karyanya berjudul Al-Khalifah aw al-Imamah al-Uzhma. Dalam
karyanya ini Ridha belum bisa melepaskan diri dari pandangan pemikir Sunni
Klasik yang mensyaratkan suku Quraisy sebagai kepala negara. Pandangan Hasan
al-Banna tercermin dalam aktiivitas dan ceramah-ceramahnya dalam gerakan
al-Ikhwan al-Muslimun.
Secara umum,
gagasan kelompok pertama ini masih mengiginkan adanya negara universal yang
menyatukan seluruh dunia islam. Ridha menamakannya dengan negara khalifah,
Sayyid Quthb menyebutnya sebagai negara supranasional, sementara Maududi
menamakannya dengan negara universal yang mirip-mirip dengan negara fasis.
Cara lain yang menandai
pemikiran para tokoh tersebut adalah sikap mereka yang anti-Barat. Para tokoh
tersebut memandang Barat sebagai musuh islam. Karena itu, apa yang datang dan
Barat semua itu harus ditolak, karena tidak sesuai dengan kepribadian islam.
Umat muslim harus kembali pada ajran agama mereka secara utuh. Khomeini Barat
(Amerika) dan menjulukinya dengan “Setan Besar”.[10]
Tokoh yang dapat
dimasukkan kedalam kelompok kedua bahwa agama harus dipisahkan dengan negara, dengan argumen Nabi Muhammad SAW yang tidak pernah memerintahkan untuk
mendirikan negara. Terbentuknya negara
dalam masa awal islam hanya faktor
alamiah dan bistoris dalam kehidupan
masyarakat, sehingga tidak perlu umat islam mendirikan
negara islamiyah[11].
Kelompok ini di wakili oleh Ali Abd al-Raziq ( 1888-1996 M ), Thaha Husein (
1889-1973 M ), dan Mustofa Kemal Ataturk ( 1881-1938 M ). Ali Abd al-Raziq
memandang, bahwa islam tidak memiliki tata aturan mengenai politik. Sementara
Thaha Husein menuangkan pemikirannya antara lain dalam karyanya yang berjudul Mustaqbul al-Tsaqafah fi Mishr. Ia
menyatakan bahwa supaya Mesir dan umat muslim pada umumnya dapat meraih
kemajuan, maka jalan satu-satunya ialah dengan meniru dan mengadopsi peradaban
barat.
Musthafa Kemal
malah berangkat lebih jauh dari dua tokoh tersebut. Ia melakukan sekularisasi
besar-besaran dengan mengikui bangsa Barat dalam segala aspek dan membuang
warisan budaya islam. Ia meninggalkan bahasa Arab sebagai bahasa umat islam,
mengganti Aksara bahasa Arab dengan aksara Latin, mengganti azan dengan bahasa
Turki, mengadopsi hukum-hukum Barat serta menghapuskan lembaga-lembaga
keagamaan yang pernah ada didunia islam.
Tokoh-tokoh yang
termasuk dalam kelompok ketiga adalah Muhammad Abduh ( 1849-1905 M ), Muhammad
Iqbal ( 1887-1938 M ), Muhammad Husein Haykal ( 1888-1956 M ), Muhammad Natsir
( 1908-1993 M ), dan Fazlur Rahman ( 1919-1988 M ). Muhammad Abduh berpendapat bahwa
kepada kepala negara adalah penguasa sipil yang diangkat dan diberhentikan oleh
manusia. Memang, lanjud Abduh, islam juga mengatur hukum-hukum mengenai
masalah-masalah hubungan antara sesama manusia. Agar hukum tersebut dapat
berjalan efektif, maka dibutuhkan seseorang pemimpin atau kepala negara untuk
melaksanakan serta mengewasi pelaksanaannya. Namun demikian kepala negara
bukanlah negara bukanlah wakil Tuhan, melainkan hanya pemimpin politik.
Karenanya, ia tidak memiliki kekuasaan keagamaan seperti dalam agama Kristen.
Pandangan ini juga diantut oleh Muhammad Husein Haykal, murid Abduh. Pandangan
Haykal antara lain terlihat dalam karyanya al-Hukumah
Al-islmaiyya. Menurutnya islam hanya meletakkan prinsip-prinsip bagi
peradaban manusia, termasuk masalah kenegaraan. Islam tidak memiliki sistem
pemerintahan yang bagaimana, asalkan tidak bertentangan dengan prinsip yang
digariskan Islam.
Sementara Iqbal,
selain mengelaborasikan nilai-nilai ajaran Islam tentang kenegaraan, juga
melakukan kajian kritis terhadap berbagai idiologi Barat. Pandangan politik
Iqbal antara lain tertuang dalam karyanya The Reconstrution of Relegious
Thought in Islam. Iqbal dapat menerima sosialisme, ia menolak komunisme-
atheisme dan demikrasi Barat.
Komonisme-atheisme bertentangan dengan nilai-nilai kemanusia dan keTuhanan.
Demokrasi Barat juga dikecam Iqbal karena tidak memiliki landasan hubungan
vertikal kepada Allah, sehingga cenderung mengeksploitasi manusia. Iqbal
menerima demokrasi asalkan karat-karat nodanya dibersihkan terlebih dahulu.
Dalam beberapa hal, pandangan Iqbal dikembangkan oleh Fazlur Rahman, seperti
dalam tulisannya berjudul Implementation of the Islamic Concept of State in
the Pakistan Millue.[12]
Di Indonesia
pandangan kelompok ketiga diwakili oleh Muhammad Natsir. Menurtutnya, islma berbeda dari agama
lainnya, juga mengandung peraturan hukum-hukum tentang kenegaraan. Untuk
menjamin keberlakuan hukum dan peraturan
tersebut, maka islam membutuhkan lembaga pemerintahan. Namun islam tidak memberi ketentuan yang baku
tentang bagaimana bentuk negara yang harus dilakukan oleh umat Islam. Oleh
karena itu, umat islam diberikan kebebasan sepenuhnya untuk berkreasi
menentukan bentuk negara dan sistem pemerintahan yang cocok dengan situasi dan
kondisi yang berkembang.
Ada juga tokoh
yang mengkaji siyasah dalam bidang
tertentu saja, seperti hubungan internasional dan hukum perang. Ini dilakukan
umpamanya oleh Muhammad Abu Zahrah dalam karyanya al-Alaqah al-Dauliyah fi al-Islam, Ali Ali-Mansyur dalam bukunya al-Syari’ah al-Islamiyah wa al-Qanun
al-Dauli al-Amm, Umar Kamal Tawfiq dalam tulisannya al-Diblumasiah al-Islamiah serta Wahabbah al-Zuhaili,Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Islam, Fahmi
Huwaydi dalam karyanya berjudul Al-islam
wa al-Dimuqrathiyah, dan Abdullah Ahmed an Na’im yang pemikirannya lebih
konsen pada islam dan isu-isu hak asasi manusia. Dari kelompok Syi’ah antara
lain karya yang dapat disebutkan antara lain adalah The just ruller in shi’ite Islam karya Abdulaziz A. Sachedina.[13]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sejarah perkembangan siyasah dapat kami simpulkan yaitu
terbagi atas tiga periode perkembangan, yakitu periode klasik, pertengahan dan
periode modren.
1.
Periode klasik
Periode klasik dimulai pada abad ke 6 sampai abad ke 12 (661 M –
1258 ) pada periode ini terdapat dua dinasti, yaitu Bani Umayyah ( 661-750 M ) dan Bani Abbasiyah. Pada masa
klasik ini terdapat beberapa ilmuan siyasah yang berpengaruh didalam
perkembangan siyasah pada masa itu, yaitu :
a.
Ibn Abi Rabi`. Ia memepersembahkan karyanya
yang berjudul Suluk al-Malik fi Tadbir al- Mamalik. ( pedoman bagi raja
dalam menjalankan pemerintahan )
b.
Al- Farabi ( 257-339 H ) nama aslinya
ialah Abu Nashr Muhammad Ibn Muhammad Aujalah lahir di Farab 257 H atau 870 M.
Meninggal di Damaskus pada usia 80 tahun
c.
Al-Mawardhi ( 364-450 H ) nama asilinya
ialah Abu al-Hasan Ali Ibn Habib al-Mawardhi dengan kitab al-Hakam
al-Sultaniyah fi al-Wilayah al-Diniyah.
d.
Al-Ghazali ( 450-505 H ) nama asli
beliau adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali , lahir di Ghazaleh (
Kharasan ) pada tahun 1059 M atau 450 H.
Ciri-ciri pemikiran para ahli pada periode klasik ini diantaranya :
a.
Adanya pengaruh
unsur pemikiran alam yunani, terutama pada pandangan Plato terhadap asal usul
negara.
b.
Pemikiran
politik berkembang lebih berpijak pada kondisi real sosial politik yang
terjadi.
2.
Periode
pertengahan
Masa pertengahan dimulai pada abad 13 sampai abad 19, yaitu diawali
dari jatuhnya Dinasti Abbasiyah oleh bangsa Mongol, sampai munculnya masa
kolonialisme. Ilmuan yang hadir pada masa pertengahan adalah :
a.
Ibn Taimiyah (
661-728 H ) beliau lahir pada 22 januari 1236 atau 10 rabiul awal 661 H, dan
dia meninggal pada 1328 H. Dengan kitabnya : al-Siyasah al-Syariah fi islan
Al-Rawi’ wa al-Ra`iyah.
b.
Ibn Khaldun
(1362-1406 M )
Lahir di Tunnisia 1 Ramadhan 723 M dan beliau meninggal pada 26
ramadhan 808 M.dengan kitabnya muqaddimah.
3.
Periode moderen
a.
Kelompok 1 Di
antara tokoh yang termasuk dalam kelompok pertama adalah Muhammad Rasyid Ridha
( 1865-1935 M ), Hasan al-Banna ( 1906-1966 M ) Abu al-A’la al-Maududi (
1903-1979 ), Sayyid Quthb ( 1906-1966 M ), dan Ayatullah Khomeini ( 1900-1989 M
).
b.
Kelompok 2.
Kelompok ini di wakili oleh Ali Abd al-Raziq ( 1888-1996 M ), Thaha Husein (
1889-1973 M ), dan Mustofa Kemal Ataturk ( 1881-1938 M ).
c.
Tokoh-tokoh
yang termasuk dalam kelompok ketiga adalah Muhammad Abduh ( 1849-1905 M ),
Muhammad Iqbal ( 1887-1938 M ), Muhammad Husein Haykal ( 1888-1956 M ),
Muhammad Natsir ( 1908-1993 M ), dan Fazlur Rahman ( 1919-1988 M ).
DAFTAR PUSTAKA
A.
Fadhil Lubis Nur, 1995,Hukum Islam dalam kerangka teori fiqih dan tata hukum
indonesia, Medan : Pustaka
Widyasarana.
Ibnu
Mujar Syarif, dkk,2008, Figh Siyasah
Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, Jakarta : PT Gelora Aksara Pratama
Iqbal
Muhammad ,2016, Fiqh Siyasah
Konstektualisi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Prenadamedia Group.
Sjadzali
Munawir, 1991 , Islam dan Tata Negara ajaran, sejarah dan pemikiran, Jakarta
: UI-Press.
Pertanyaan-pertanyaan yang timbul didalam diskusi
1.
Pertanyaan dari
Ikbal Hanafi Lubis “ Kenapa pembagian sejarah berkembangannya siyasah dibagi
tiga?”
Jawaban
: “karena pada perkembangan sejarah islam itu sendiri sangat lama,
maka dari itu kami pemakalah dengan beberapa sumber literatur yang kami
dapatkan bahwasanya perkembangan Islam terkhusus pada perkembangan Siyasah itu
dibagi atas tiga periode, yakni periode klasik (661-1258), pertengahan (abad
13-19) dan moderen (abad 19-sekarang)”.
2.
Muhammad Faisal
Khairullah Ritonga “ Siapa saja tokoh-tokoh yang berperan dalam perkembangan
siyasah itu sendiri ?“
Jawaban
:” seperti yang telah kami sampaikan sebelumnya bahwa tokoh-tokoh yang
berperan dalam perkembangan siyasah ini ialah Ibnu Abi Rabi`, Alfarabi,
al-Mawardhi, al-Ghazali (klasik), Ibnu Taimiyyah,Ibnu Khaldun (pertengahan) dan
M.Rasyid Ridho, M.Abdu,M.Iqbal, M.Natsir, dan sebagainya yang telah kami
paparkan dipapan tulis.”
3.
Lisdayanti
Harahap “ kenapa pada masa moderen para tokohnya dibagi tiga ? “
Jawaban
: baik, pertanyaan yang bagus dari saudari lisdayanti, dalam periode
klasi, kami pemakalah membagi para tokoh tersebut didalam tiga golongan, hal
ini dilandasi oleh pemikiran tokoh tersebut tentang siyasah tersebut. Pada
golongan pertama itu disebut golongan Integlaris dengan ciri pemikirannya
dipengaruhi oleh pemikiran barat. Golongan yang kedua disebut sekuler, dengan
pemikirannya memisahkan antara agama dengan politik, serta kelompok yang ketiga
adalah simbiotik yaitu ciri pemikirannya respown ulama terhadap barat. Dan
dengan tokoh-tokohnya telah kami sampai kan pada pertanyyan sebelumnya dan juga
telah kami paparkan dipapan tulis.’’
4.
Muhammad Riski
Anwar “ bagaimana perbedaan ciri-ciri pemikiran siyasah ditiap zamanya?
Jawaban
: terima kasih atas pertanyaan saudara, jadi dari yang telah kami
paparkan dapat kita ambil kesimpulan bahwasanya perbedaan tidaklah begitu jauh,
yakni antara klasik dan moderen cenderung pemikirannya lebih sama, kemudian
baru pada zaman modren telah mulai berubah yakni dipengaruhi oleh
pemikiran-pemikiran politik barat”.
[1] Nur A.
Fadhil Lubis, Hukum Islam dalam kerangka teori fiqih dan tata hukum
indonesia, ( Medan : Pustaka Widyasarana,1995 ) hal.38
[2] ibid
[3] Muhammad
Iqbal, Fiqh Siyasah Konstektualisi
Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), h. 21
[4] Muhammad
Iqbal, Fiqh Siyasah Konstektualisi
Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), h. 21-23.
[5] Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara ajaran, sejarah dan pemikiran, ( Jakarta
: UI-Press, 1991 ) hal : 42
[6] Ibid., h. 26.
[7] Muhammad
Iqbal, “Fiqh Siyasah Kontektualisasi
Doktrin Politik Islam”, (Jakarta, Prenada Media Group,2014) halm 26-29
[8] Muhammad
Iqbal, “Fiqh Siyasah Kontektualisasi
Doktrin Politik Islam”, (Jakarta, Prenada Media Group,2014) halm 29
[9] Mujar Ibnu Syarif, dkk, “Figh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam”, (PT Gelora
Aksara Pratama,2008) halm 39
[10] Muhammad
Iqbal, “Fiqh Siyasah Kontektualisasi
Doktrin Politik Islam”, (Jakarta, Prenada Media Group,2014) halm 30
[11] Mujar
Ibnu Syarif, dkk, “Figh Siyasah Doktrin
dan Pemikiran Politik Islam”, (PT Gelora Aksara Pratama,2008) halm 41-42
[12]
Muhammad Iqbal, “Fiqh Siyasah Kontektualisasi
Doktrin Politik Islam”, (Jakarta, Prenada Media Group,2014) halm 32
[13] Muhammad
Iqbal, “Fiqh Siyasah Kontektualisasi
Doktrin Politik Islam”, (Jakarta, Prenada Media Group,2014) halm 31-33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar