Senin, 08 Juli 2019

PERKAWINAN ( PERDATA)



A.    Defenisi Perkawinan
Dalam KUHPerdata, pengertian perkawinan tidak dengan tegas dijelaskan tentang makna ataupun defenisi dari perkawinan itu sendiri, jadi perkawinan itu sendiri dapat kita jumpai defenisinya dari beberapa ketentuan hukum yang lainnya seperti undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, kompilasi hukum islam, serta dari sudut pandang  Agama.
Perkwinan adalah ikatan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui sah oleh perundang-undangan negara dan bertujuan untuk membentuk dan membina kehidupan kelarga yang kekal dan abadi.[1]
Perkawinan atau yang juga dikenal dengan kata nikah menurut bahasa secara hakiki berarti al-wath`u (bersetubuh), dan secara majazi berarti al-aqdu yang artinya ikatan. Dan perkawinan menurut para ulama fiqih bermacam defenisi, dan dapat kita simpulkan bahwa perkawinan menurut para ulama fiqih ialah diperbolehkannya terjadinya persetubuhan, atau dihalalkannya memperoleh kenikmatan (dengan seorang wanita) dengan lafazh tertentu (aqad).[2] Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.[3]
Kemudian, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[4]
Jadi dari defenisi diatas dapat penulis simpulkan bahwasanya perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita dimana sah apabila diakui oleh undang-undang, dan didalam agama merupakan sebuah ibadah.

B.     Rukun dan Syarat
Di dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 syarat-syarat perkawinan dimuat di dalam Bab II dari pasal 6 sampai 12.
a)      Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.[5]
b)      Perkawinan hanya diizinkan jika pihak peria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.[6]
c)      Dilarang menikah jika semahram
d)     Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.[7]
e)      Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamnya dan kepercayaanya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.[8]
f)       Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.[9]
g)      Tata-cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.[10]
a.       Calon suami, dengan syarat :
1)      Muslim
2)      Merdeka
3)      Berakal
4)      Benar-benar laki-laki
5)      Adil
6)      Tidak beristeri empat
7)      Bukan mahram calon isteri
8)      Tidak sedang irham haji atau umrah
b.      Calon istri, dengan syarat :
1)      Muslimah
2)      Benar-benar perempuan
3)      Telah mendapat izin walinya
4)      Tidak bersuami atau dalam masa iddah
5)      Bukan mahrom dari calon suami
6)      Tidak sedang dalam irham haji atau umrah
c.       Shigat (ijab dan qabut) dengan syarat :
1)      Lafal ijab dan qabul harus lafal nikah dan bukan kata-kata kinayah atau kiasan.
2)      Lafal ijab qabul tidak memiliki syarat tertentu
3)      Ijab qabul harus terjadi didalam suatu majelis
d.      Wali calon pengantin perempuan, dengan syarat :
1)      Muslim
2)      Berakal
3)      Tidak fasik
4)      Laki-laki
5)      Mempunyai hak untuk menjadi wali
e.       Dua orang saksi, dengan syarat :
1)      Muslim
2)      Berakal
3)      Baligh
4)      Merdeka
5)      Laki-laki
6)      Adil
7)      Pendengaran dan Penglihatannya sempurna.
8)      Memahami bahasa yang diucapkan dalam ijab qabul.
9)      Tidak dalam irham haji atau umrah.[11]

C.     Asas dan Prinsip Dalam Perkawinan
Secara umum prinsip perkawinan menurut KUHPerdata adalah sebagai berikut.
a.       Perkawinan adalah sah apabila dipenuhinya syarat-syarat hukum dari perkawinan yang ditetapkan oleh undang-undang (pasal 26 KUHPerdata).
b.      KUHPerdata tidak memandang hukum agama sebagai syarat sahnya perkawinan (pasal 81 KUHPerdata).
Berdasarkan isi pasal 1 undang-undang nomor 1 tahun 1974, dapat dilihat asas atau prinsip perkawinan, yaitu :
a.       Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal, karena itu perkawinan harus merupakan ikatan lahir batin dan tidak hanya ikatan lahir atau batin;
b.      Ikatan itu antara seorang pria dan wanita sehingga hukum Indonesia menganut asas monogami, artinya asas ini bersifat terbuka, seorang suami dapat mempunyai lebih dari seorang isteri apabila dikehendaki dan sesuai hukum agamanya serta memenuhi persyaratan tertentu;
c.       Perkawinan harus sesuai dengan hukum agamanya dari masing-masing calon suami isteri;
d.      Mengaruskan suami dan isteri telah matang jiwa dan raganya untuk melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan rumah tangga yang bahagia dan kekal, dan tidak berakhir dengan perceraian;
e.       Perceraian suatu hal yang harus dihindari;
f.       Prinsip bahwa hak dan kedudukan isteri seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga ataupun dalam pergaulan masyarakat.[12]
D.    Macam Perkawinan
pada dasarnya, bentuk-bentuk perkawinan dapat dilihat dari dua segi,  yaitu ditinjau dari segi jumblah suami atau istri,  maka bentuk bentuk perkawinan terdiri atas :
a.       perkawinan monogami ialah perkawinan antara seorang wanita.
b.      perkawinan poligami ialah perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari satu wanita ataupun perkawinan antara seorang wanita dengan lebih dari satu pria.
c.       pernikahan campuran, yaitu perkawinan antara dua oarang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan,  karena perbedaan kewarganegaraan, mksalnya perkawinan campuran antara pria berwarganegara swisa dengan wanita  beewarga negara Indonesia
d.      pernikahan beda agama,  yaitu pernikahan antara dua orang yang berbeda agama.  Misalnya pernikahan orang islam dengan budha,  dan sebagainya.[13]

E.     Akibat Hukum Perkawinan
Akibat perkawinan adalah hubungan yang timbul antara para pihak (suami istri) yang menimbulkan hak dan kewajiban antara suami istri,  hubungan suami istri dengan keturunan dan kekuasaan orangtua serta hubungan suami istri dengan harta kekayaan yang mereka milik.
Akibat hukum perkawinan menurut kuhperdata menimbulkan hak dan kewajiban dalam dua hal,  yaitu sebagai berikut.
a.        Akibat yang timbul dari hubungan suami istri,  yaitu :
1)      adanya kewajiban suami istri untuk saling setia,  tolong menolong,  bantu membantu,  dan apabila dilanggar daoat menimbulkan pisah tempat tidur,  dan dapat mengajukan cerai (pasal 103)
2)      suami istri wajib tinggal bersama dalam arti harus menerima istri, istri tidak harus ikut ditempat suami kalau keadaannya tidak memungkinkan,  suami harus memenuhi kebutuhan istri (pasal 104)

b.      Akibat yang timbul dari kekuasaan suami dalam hubungan perkawinan yaitu:
1)      suami adalah kepala rumah tangga,  istri harus patuh kepada suami sehingga istri tidak cakap,  kecuali ada izin dari suami.
2)      istri harus patuh terhadap suami,  istri harus mengikuti kewarganegaraan suami,  dan harus tunduk pada hukum suami, baik hukum publik maupun privat (pasal 106 KUHperdata)
3)      suami bertugas mengurus serta kekayaan bersama,  sebagian besar kekayaan pihak istri,  menentukan tempat tinggal, menentukan persoalan yang menyangkut kekuasaan orangtua.
4)      suami wajib memberikan segala sesuatu yang diperlukan istri atau memberikan nafkah sesuai dengan kemampuan dan kedudukannya (pasal 107 KUHperdata) 
akibat perkawinan menurut undang-undang no 1 tahun 1974, hubungan antara suami istri menimbulkan hak dan kewajiban,  yaitu sebagai berikut.
a.       Menegakkan rumah tangga, menciptakan rumah tangga yang utuh.
b.      Suami sebagai kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga.
c.       Kedudukan suami dan istri seimbang, mempunyai hak dan kewajiban masing masing
d.      Suami dan istri merupakan dua komponen yang sama pentingnya dalam melaksanakan fungsi keluarga, tidak ada dominasi dan supermasi diantara keduanya.
e.       Suami istri harus memiliki tempat tinggal ( domisili) dan istri harus ikut suami. Untuk membentuk keluarga yang harmonis,  suami istri harus tinggal bersama dalam satu rumah,  penting untuk membina hubungan satu sama lain dengan pasangan dan dengan anak-anaknya.
f.       Suami istri wajib saling mencintai, menghormati, dan setia, serta memberikan bantuan lahir batin kepada satu dengan yang lainnya.
g.      Suami wajib melindungi istri,  memenuhi segala keperluan hidupnya.  Suami harus selalu bertanggung jawab terhadap keperluan hidup keluarganya. [14]

F.      Putusnya Perkawinan
Alasan putusnya perkawinan
Pasal 38 undang undang perkawinan, perkawinan dapat putus kerana kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan. Perkawinan putus karena kematian sering disebut masyarakat dengan istilah ‘cerai mati’. Perkawinan putus karena perceraian ada dua sebutan yaitu ‘cerai gugat’ dan ‘cerai talak’. Perkawinan putus karena berdasar pada putusan pengadilan disebut ‘cerai batal’.[15]
Perceraian suami dan istri
Undang-undang Perkawinan pada dasarnya mempersulit terjadinya perceraian. Alasan pembentuk undang-undang mempersulit perceraian adalah :

a.       Perkawinan mempunyai tujuan suci dan mulia, sedangkan perceraian adalah perbuatan yang dibenci oleh Tuhan (Allah).
b.      Untuk membatasi kesewenang-wenangan suami terhadap istri.
c.       Untuk mengankat derajat dan martabat istri (wanita) sehingga setaraf dengan derajat dan martabat suami (pria).
Walaupun perceraian adalah perbuatan tercela dan dibenci oleh Tuhan (Allah), suami istri boleh melakukan perceraian apabila perkawinan mereka sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Namun, perceraian harus mempunyai alasan-alasan seperti yang diatur dengan undang-undang bahwa antara suami dan istri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Menurut ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintahan Nomor 9 Tahun 1975, perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut :
a.       Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan sebagainya yang sukar untuk disembuhkan.
b.      Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah, atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c.       Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.
e.       Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami atau istri.
f.       Anatara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Perceraian hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi salah satu dari alasan-alasan tersebut di atas. Perceraian harus dengan gugatan ke depan sidang pengadilan. Bagi yang beragama Islam, perceraian yang dilakukan di muka sidang pengadilan agama adalah cerai talak. Bagi yang beragama Islam dan bukan beragama Islam, perceraian diajukan ke pengadilan dengan surat gugatan perceraian. Gugatan perceraian bagi yang beragama Islam diajukan kepada pengadilan agam, sedangkan bagi yang bukan beragama Islam, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan negeri.[16]
Syarat-Syarat  Perceraian
Syarat-syarat perceraian termaktub dalam pasal 39 Undang-undang perkawinan terdiri dari 3 ayat, yaitu[17] :
a.       Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
b.      Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami istri.
c.       Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Putusan perceraian harus didaftarkan pada Pegawai Pencatatan Sipil di tempat perkawinan itu telah dilangsungkan. Mengenai perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, pendaftaran itu harus dilakukan pada Pegawai Pencatatn Sipil di Jakarta. Pendaftaran harus dilakukan dalam waktu enam bulan setelah hari tanggal putusan hakim. Jikalau pendaftaran dalam waktu yang ditentukan oleh undang-undang dilalaikan, putusan perceraian kehilangan kekuatannya, yang berarti, menurut undang-undang perkawinan masih tetap berlangsung.


[1] Neng Yani Nurhayani, Hukum Perdata, (Bandung, Pustaka Setia, 2015) Hal 132
[2] Armia,Fikih Munakahat, (Medan,CV Manhaji, 2016) Hal 1-3
[3] Pasal 2 Buku 1 Hukum Perkawinan Kompilasi Hukum Islam
[4] Pasal 1 undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
[5] Pasal 6
[6] Pasal 7
[7] Pasal 9
[8] Pasal 10
[9] Pasal 11
[10] Pasal 12
[11] Armia,Fikih Munakahat, (Medan,CV Manhaji, 2016) hal 10-11
[12] Neng Yani Nurhayani, Hukum Perdata, (Bandung, Pustaka Setia, 2015) Hal 135
[13] Akmaludin Syahputra,Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta,cita pustaka media perintis,2011) hal 43
[14] Neng Yani Nurhayani, Hukum Perdata, (Bandung, Pustaka Setia, 2015) Hal 135-137
[15]  Abdulkadir Muhammad Hukum Perdata Indonesia (bandung : citra Aditya bakti : 2014) hlm 117
[16] Ibid hlm 119
[17] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2009), hlm.227

Tidak ada komentar:

Posting Komentar