A.
Defenisi Mudharabah
Secara etimologi, kata mudharabah berasal dari kata dharb. Dalam bahasa Arab, kata ini
termasuk di antara kata yang mempunyai banyak arti. Di antaranya, memukul; dharaba Ahmad al-kalba, mengalir; dharaba damuhu, berenang; dharaba fi al ma’, berjalan; dharaba fi
al-ardh dan lain sebagainya. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam kata
tersebut bergantung pada kata yang mengikutinya dan konteks yang membentuknya.
Namun di balik keluwesan kata ini dapat ditarik benang merah yang dapat
mempresentasikan keragaman makna yang ditimbulkan, yaitu bergeraknya sesuatu
kepada sesuatu yang lain.
Di dalam Al-Qur’an kata mudharabah tidak disebutkan sejarah
jelas. Al-Qur’an hanya mengungkapkan mustaq dari kata dharaba sebanyak 58 kali. Di antara jumlah itu, terdapat kata yang
dijadikan oleh sebagian besar ulama fiqh sebagai akar kata dari mudharabah, yaitu kata dharaba fi al ardh yang artinya berjalan
di muka bumi. Mereka menganggap bahwa yang dimaksud berjalan di muka bumi ini
adalah bepergian berjalan ke suatu wilayah untuk sebuah perdagangan.[1]
Secara terminologis mudarabah adalah kontrak ( perjanjian )
antara pemilik modal ( rab al-mal ) dan pengguna dana ( mudharib ) untuk digunakan untuk aktivitas yang produktif di mana
keuntungan dibagi dua antara pemodal dan pengelolah modal. Kerugian jika ada
ditanggung oleh pemilik modal, jika kerugian itu terjadi dalam keadaan normal,
pemodal ( rab al-mal ) tidak boleh
intervensi kepada pengguna dana ( mudharib
) dalam menjalankan usahanya.
Mudarabah
suatu bentuk kontrak yang lahir
sejak zaman Rasulullah SAW. Sejak zaman jahiliah atau sebelum Islam. Dan Islam menerimanya
dalam bentuk bagi hasil dan investasi.
Dalam bahasa Arab ada 3 istilah yang digunakan untuk bentuk organisasi bisnis
ini: Qiradh, muqaqadhah, dan mudarabah. Ketiga istilah ini tidak ada
perbedaan yang prinsip. Perbedaan istilah ini mungkin disebabkan oleh faktor
geografis. Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal di Irak menggunakan istilah
mudarabah, sebaliknya Iman Malik dan Syafi’i menggunakan istilah qiradh atau muqaradhah, mengikuti kebiasaan di Hijaz.
Menurut Pasal 20 ayat (4) kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah, mudarabah adalah kerja sama antara pemilik dana dengan pengelola modal
untuk melakukan usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah.[2]
Dalam fiqih muamalah, definisi
terminologi mudharabah diungkapkan
secara macam-macam oleh beberapa ulama mazhab, di antaranya:
1.
Mazhab Hanafi,
yaitu; suatu perjanjian untuk berkongsi di dalam keuntungan dengan modal dari
salah satu pihak dan kerja (usaha) dari pihak lain.
2.
Mazhab Maliki,
yaitu; penyerahan uang di muka oleh pemilik modal dalam jumlah uang yang
ditentukan kepada seorang yang usaha dengan uang itu dengan imbalan sebagian
dari keuntungan.
3.
Mazhab Syafi’i,
yaitu: bahwa pemilik modal menyerahkan sejumlah uang kepada penguasa untuk
dijalankan dalam suatu usaha dagang dengan keuntungan menjadi milik bersama
antara keduanya.
4.
Mazhab Hambali,
yaitu; penyerahan suatu barang atau sejenisnya dalam jumlah yang jelas dan
tertentu kepada orng yang mengusahakannya dengan mendapat bagian tertentu dari
keuntungannya.
Satu hal yang
barangkali terlupakan oleh keempat mazhab ini dalam mendefinisikan mudharabah adalah bahwa kegiatan kerja
sama mudharabah merupakan jenis usaha yang tidak secara otomatis mendatangkan
hasil. Oleh karena itu, penjabaran mengenai untung dan rugi perlu untuk
diselipkan sebagai bagian yang integral dari sebuah definisi yang baik.[3]
B.
Dasar hukum mudharabah
Dasar kebolehan praktik
mudarabah adalah Q.S. Al-Baqarah (2) :
198 ; “Tidak ada dosa bagimu untuk
mencari karunia dari Tuhanmu “. Adapun dalil sunah adalah bahwasanya Nabi
pernah melakukan akad mudarabah dengan harta Khadijah ke negeri Syam ( waktu
ketika beliau belum menjadi istri Rasulullah SAW). Dan Hadis “ dari Shuhaibah Rasulullah SAW, bersabda :
ada tiga perkara yang diberkati : jual belinyang ditangguhkan, memberi modal,
dan mencampur gandum dengan kurma untuk keluarga, bukan untuk dijual.”
(H.R. Ibnu Majah)
Diriwayatkan dari
Daruquthni Hakim Ibn Hizam apabila memberi modal kepada seseorang, dia
mensyaratkan: harta jangan digunakan untuk membeli binatang, jangan kamu
lakukan salah satu dari larangan-larangan itu, maka kamu harus bertanggung
jawab terhadap hartaku.[4]
Kemudian didalam dasar
hukum yang lain juga dimuat :
Firman Allah:
Artinya :
Dan orang-orang
yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah Swt.....”(Q.S Al-Muzammil [73]: 20).
Firman Allah:
Artinya :
Apabila telah di
tunaikan sholat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. ( Q.S Al-jum’ah [62]: 10)
Diriwayatkan
oleh Ibnu Abbas bahwasanya Sayyidina Abbas jikalau memberikan dana ke mitra
usahanya secara mudharabah, ia
mensyaratkan agar dana nya tidak di bawa mengarungi lautan dan menuruni lembah
yang berbahaya. Apabila menyalahi peraturan, yang bersangkutan bertanggung
jawab atas dana tersebut. Di sampaikannyalah syarat-syarat tersebut ke
Rosulullah Saw. dan Rosul pun memperkenankannya. ( hadis di kutip olem imam
alfasi dalam majama ‘assawaid 4/161)
Hadis
lain yang senada telah di riwayatkan oleh imam Darul Quthni dari perawi-perawi
yang dapat di percayai. Dari syu’aib r.a bahwa Rosululloh Saw. Bersabda: “tiga
perkara di dalamnya terdapat keberkatan, (1) menjual dengan pembayaran secara
kredit, (2) muqaradah (nama lain dari mudharabah), (3) mencampur gandum dengan
tepung untuk keperluan rumah dan bukan untuk di jual.” (HR Ibnu Majah)
Rahmat
Allah Swt. Tercurahkan atas dua pihak yang sedang bekerja sama selama mereka
tidak melakukan penghianatan, manakala berkhianat, bisnisnya akan tecela dan
keberkahan pun akan sirna dari padanya. (HR Abu Daud, Baihaqi, Al Hakam). [5]
C.
Rukun dan
Syarat Mudharabah
Menurut Ulama Syafi’iyah, rukun qiradh atau mudarabah ada enam , yaitu:
1)
pemilik barang
yang menyerahkan barang-barangnya.
2)
Orang yang
bekerja, yaitu mengelolah harta yang diterima dari pemilik barang.
3)
Akad mudarabah,
dilakukan oleh pemilik dengan pengolah barang
4)
Maal, yaitu
harga pokok atau modal.
5)
Amal, yaitu
pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba.
6)
Keuntungan.
Menurut Pasal 232 kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah, rukun mudarabah ada tiga, yaitu sebagai berikut:
1)
Shahib al-mal/pemilik
modal
2)
Mudharib/pelaku
usaha
3)
Akad.
Menurut Sayid Sabi,
rukun mudarabah adalah ijab dan kabul yang keluar dari orang yang memiliki
keahlian.[6]
Syarat Mudharabah
Syarat-syarat sah mudarabah berhubungan dengan rukun-rukun mudarabah itu sendiri. Syarat-syarat sah mudarabah adalah sebagai berikut:
1.
Modal atau
barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai. Apabila barang itu berbentuk
emas atau perak batangan (tabar),
maka emas hiasan atau barang dagangan lainnya, mudarabah tersebut batal.
2.
Bagi orang yang
melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasawuf, maka dibatalkan akad
anak-anak yang masih kecil, orang gila, dan orang-orang yang berada di bawah
pengampunan.
3.
Modal harus di
ketahui dengan jelas agar dapat di bedakan antara modal yang di perdagangkan
dan laba atau keuntungan dari perdagangan tersebut yang akan di bagikan kepada
dua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah di sepakati.
4.
Keuntungan yang
akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal harus jelas persentasenya, umpamanya
setengah, sepertiga atau seperempat.
5.
Melafazkan ijab
dari pemilik modal-misalnya aku serahkan uang ini kepadamu untuk dagang jika
ada keuntungan akan di bagi dua-dan kabul dari pengelola.
6.
Mudharabah
bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola harta untuk berdagang
di negara tertentu, memperdagangkan barang-barang tertentu, pada waktu-waktu
tertentu, sementara di waktu lain tidak terkena persyaratan yang mengikat
sering menyimpang dari tujuan akad mudarabah ada persyaratan-persyaratan, maka
mudarabah tersebut menjadi rusak (fasid) menurut pendapat al-syafi’i dan malik.
Adapun menurut abu hanifah dan ahmad ibn hambal, mudarabah tersebut sah.
Menurut
pasal 231 kompilasi hukum ekonomi syariah, syarat mudarabah, yaitu sebagai berikut:
1)
Pemilik modal
wajib menyerahkan dana dan/ atau barang yang berharga kepada pihak lain untuk
melakukan kerja sama dalam usaha.
2)
Penerima modal
menjalankan usaha dalam bidang yang di sepakati.
3)
Kesepakatan
bidang usaha yang akan di lakukan di tetapkan dalam akad.[7]
D.
Prisip Mudharabah
Aplikasi dari prinsip mudharabah adalah penyimpanan atau deposan bertindak sebagai shahibul maal ( pemilik modal ) dan bank
sebagai mudharib ( pengelola ). Dana
tersebut digunakan oleh bank untuk melakukan pembiayaan murabahah atau ijarah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Dapat pula dana tersebut digunakan oleh bank untuk melakukan pembiayaan mudharabah . hasil usaha ini akan dibagi
berdasarkan nisbah yang disepakati. Dalam hal bank mempergunakannya untuk
melakukan pembiayaan mudharabah, maka
bank bertanggung jawab penuh atas kerugian yang terjadi.[8]
E.
Ketentuan mudharabah
Ketentuan mudharabah menurut Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah adalah sebagai berikut :
Pasal 238 :
1)
Status benda
yang berada ditangan mudharib yang diterima dari sahibu al-mal adalah modal.
2)
Mudharik berkedudukan sebagai wakil sahib al-mal dalam menggunakan modal
yang diiterimanya.
3)
Keutungan yang
dihasilkan dalam mudharabah menjadi milik bersama.[9]
F.
Jenis – Jenis Mudharabah
1.
Mudharabah muthlaqah ( General Invesment )
Bentuk mudharabah ini, hal utama yang menjadi cirinya adalah pemilik modal
tidak memberikan batasan-batasan atas dana yang diinvestasikannya atau dengan
kata lain mudharib diberi wewenang
penuh mengelola tampa terikat waktu, tempat, jenis usaha, dan jenis
pelayanannya.
Ketentuan umum dari produk mudharabah muthlaqah dapat dijelaskan
sebagai berikut :
a.
Bank wajib
memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberitahuan
keuntungan dan atau pembagian keuntungan secara risiko yang dapat ditimbulkan
dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal tersebut
harus dicantumkan dalam akad.
b.
Untuk tabungan mudharabah , bank dapat memberikan buku
tabungan sebagai bukti penyimpanan, kartu ATM, dan atau alat penarikan lainya
kepada penabung. Untuk deposito mudharabah
, bank wajib memberikan sertifikat atau tanda penyimpanan ( bilyet ) deposito kepada deposan.
c.
Tabungan mudharabah dapat diambil setiap saat
oleh penabung sesuai dengan perjanjian yang disepakati, namun tidak
diperkenankan mengalami saldo negative.
d.
Deposito mudharabah hanya dapat dicairkan sesuai
dengan jangka waktu yang telah disepakati. Deposito yang diperpanjang, setelah
jauh tempo akan diperlakukan sama seperti deposito baru, tetapi bila pada akad
sudah dicantumkan perpanjangan otomatis, maka tidak perlu dibuat akad baru.
e.
Ketentuan-ketentuan
yang lain yang ada kaitannya dengan tabungan dan deposito tetap berlaku
sepanjang tidak bertantangan dengan prinsip syariah.
2.
Mudharabah muqayyadah ( Resticted Invesment )
Jenis
mudharabah ini merupakan simpanan khusus, di mana pemilik
modal dapat menetapkan sayarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh bank.
Misalnya disyaratkan digunakan untuk bisnis tertentu, atau disyaratkan
digunakan dengan akad tertentu, atau disyaratkan digunakan untuk nasabah
tertentu. Jadi mudharib hanya bisa
mengelola dana tersebut sesuai dengan batasan jenis usaha, tempat dan waktu
tertentu saja. Aplikasinya dalam perbankan adalah ispecial investment based on restricted mudharabah.
Karakteristik
jenis simpanan mudharabah muqayyadah ini
sebagai berikut :
a.
Pemilik dana
wajib menetapkan syarat- syarat tertentu yang harus diikuti oleh bank wajib
membuat akad yang mengatur persyaratan
penyaluran dana simpanan khusus.
b.
Bank wajib
memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberitahuan
keuntungan dan atau pembagian keuntungan secara resiko yang dapat menimbulkan
dari penyimpanan dana. Apabila sudah tercapai kesepakatan, maka hal tersebut
harus dicantumkan dalam akad.
c.
Sebagai bukti
simpanan, bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana
dari rekening lainya.
d.
Untuk deposito mudharabah , bank wajib memberikan
sertifikat atau tanda penyimpanan ( bilyet
) deposito kepada deposan ( penyimpanan
).
3. Mudharabah muqayyadah off Balance Sheet
Jenis mudharabah ini merupakan penyaluran dana mudharabah lansung kepada pelaksana usahanya, di mana bank
bertindak sebagai perantara yang mempertemukan antara pemilik dana dan
pelaksanaan usaha. Pemilik dana dapat menetapkan usaha. Pemilik dana dapa
menetapkan waktu syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank dalam
mencari kegiatan usaha yang akan dibiayai dan pelaksana usahanya.
Karakteristik dari jenis simpanan mudharabah ini dapat dijelaskan sebagai
berikut :
a.
Sebagai tanda
bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana dari rekening lainya.
Simpanan khusus dicatat pada pos tersendiri dalam rekening administrative.
b.
Dana simpanan
khusus harus disalurkan secara lansung kepada pihak yang diamanatkan oleh
pemilik dana.
c.
Bank menerima komisi atas jasa mempertemukan
kedua pihak adapun antara pemiliki dana dan pelaksana usaha berlaku nisbah bagi
hasil.[10]
G.
Perbedaan
bagi hasil antara bank islam dengan bank konvensional
Hal mendasar yang
membedakan antara lembaga keuangan non Islam dan Islam adalah terletak pada
pengembalian dan pembagian keuntungan yang diberikanoleh nasabah kepada bank
dan atau yang diberikan bank kepada nasabah. Sehingga terdapat istilah bunga
dan bagi hasil.
Untuk lebih jelasnya, perbedaannya
adalah sebagai berikut :
a.
Pada bank bagi
hasil, penentuan besarnya rasio bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan
berpedoman pada kemungkinan untung rugi. Sedangkan pada bank sistem bunga (
konvensional ) penentuan bunga dibuat pada waktu akad tampa berpedoman pada
untung rugi.
b.
Pada bank bagi
hasil, besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang
diperoleh. Sedangkan pada bank konvensional besarnya persentase berdasarkan
pada jumlah modal yang dipinjamkan.
c.
Pada bank bagi
hasil, bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek, sekiranya proyek itu tidak
menghasilkan keuntungan maka kergian ditanggung bersama. Sedangkan pada bank
konvensional pembayaran bunga dilakasanakan sebesar yang dijanjikan tampa
melihat untung rugi yang dialami proyek.
d.
Pada bank bagi
hasil, pembagian laba meningkat sesuai dengan menigkatnya jumlah pendapatan
yang dihasilkan. Sedangkan pada bank konvensional, pendapatan berbentuk bunga
tetap ( tidak menigkat ) , walaupun pengguna dana memperoleh keuntungan
berlipat ganda pada saat-saat ekonomi sedang pasar naik.
e.
Pada bank bagi
hasil, hubungan dengan nasabah berdasarkan prinsib bersama dan kemitraan.
Sedangkan pada bank konvensional, hubungan tersebut merupakan hubungan
debitur-kreditor.
f.
Pada bank bagi
hasil, penyaluran dana lebih berdasarkan pada pertimbangan profitalitas suatu
proyek yanag hendak dibiayaai. Sedangkan pada bank konvensional, mementingkan
jaminan pengembalian nilai nominal plus bunga, sekalipun provitalis proyek
kurang meyakinkan.
g.
Untuk menentukan
kehalalan berbagai produk yang ditawarkan bank, pada bank bagi hasil, terdapat
dewan pengawas syariah. Sementara pada bank konvesional tidak ditemukan.[11]
H.
Pembatalan dan rusaknya mudharabah
Mudharabah menjadi
batal apabila ada perkara-perkara sebagai berikut :
1.
Tidak
terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat mudharabah. Jika salah satu
syarat mudharabah tidak terpenuhi, sedangkan modal sudah dipegang oleh
pengelola dan sudah diperdagangkan maka pengelola mendaatkan sebagian
keuntungannya sebagai upah, karena tindakan atasa izin pemilik modal dan ia
melakukan tugas dan berhak menerima upah. Jika terdapat keuntungan, batas
keuntungan tersebut untuk pemilik modal. Jika ada kerugian, kerugian itu
menjadi tanggung jawab pemilik modal karena pengelola adalah sebagai buruh yang
hanya berhak menerima upah dan tidak bertanggung jawab sesuatu apapun, kecuali
atas kelalaianya.
2.
Pengelola dengan
sengaja meniggalkan tugasnya sebagai pengelola modal atau pengelola modal
berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tujuan akad. Dalam keadaan seperti ini
pengelola modal bertanggung jawab jika terjadi kerugian karena dialah penyebab
kerugian.
3.
Apabila
pelaksana atau pemilik modal meninggal dunia, mudharabah menjadi batal.[12]
Mudharabah yang rusak
Fuqaha` telah
sependapat bahwa akad bagi hasil yang terjadi tidak berdasarkan cara yang
dibolehkan oleh Syara` adalah rusak, selama pekerjaan belum dimulai.
Kemudian mereka berselisih pendapat
dalam hal, apabila pekerjaan sudah dimulai, tindakan apakah yang harus
dilakukan berkenaan dengan akad bagi hasil tersebut?.
Salah satu pendapat mengatakan, bahwa
akad tersebut dikembalikan kepada pengupahan mitsil pada setiap jenis
kerusakan. Ini adalah qiyas pendapat dari Imam Syafi`I dan qiyas salah satu dari dua riwayat dari
Imam Malik.
Pendapatnya lainnya mengatakan bahwa
akad tersebut dikembalikan kepada akad bagi hasil mitsil secara mutlak. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu
`I-Majusyun, dan riwayatnya dari Imam Malik.
Ibnu `I-Qasim berpendapat, bahwa
sebagian akad bagi hasil dikembalikan kepada akad bagi hasil mitsil , dan pada sebagian lainya
dikembalikan kepada pengupahan mitsil .
Penafsiran terhadap
pendapatnya dalam masalah ini berbeda-beda. Dalam madzhabnya dikatakan, bahwa
akad bagi hasil dikembalikan kepada pengupahan mitsil , kecuali dalam empat perkara :
1.
Akad bagi hasil
pada kebun yang berisi kurma yang sudah siap dimakan
2.
Apabila pihak
menggarap mengajukan syarat kepada pemilik kebun untuk melakukan kerjasama.
3.
Akad bagi hasil
bersama jual beli berada dalam suatu penjualan.
4.
Apabila pihak
menggarap mengadakan akad bagi hasil untuk suatu kebun selama satu tahun atas
sepertiga hasil, dan satu tahun lainnya atas separuh hasil.[13]
I.
Manfaat dann resiko Mudharabah
Manfaat mudharabah adalah :
a.
Bank akan
menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha meningkat.
b.
Bank tidak
berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi
disesuaikan dengan pendapatan / hasil usaha bank, sehingga bank tidak pernah
mengalami negative spread.
c.
Pengembalian
pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash
flow ( arus kas ) usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.
d.
Bank selektif
dan hati-hati ( prudent ) mencari
usaha yang benar, halal, aman, dan menguntungkan yang konkret dan benar benar
terjadi itulah yang akan terjadi.
e.
Prinsip bagi
hasil dalam mudharabah berbeda dengan prinsip bagi tetap, dimana bank
akan menagih penerima pembiayaan ( nasabah ) sesuai dengan yang disepakati
berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan krisis
ekonomi.
Resiko mudharabah
Mengenal resiko mudharabah kita tetap berpijak pada prinsip awal mudharabah, yaitu membagi hasil
keuntungan dan kerugian bersama. Oleh
karenanya, kegiatan usaha bank konfesional bukan termasuk kegiatan mudharabah, sebab bank sudah menjamin keuntungan yang akan
diperoleh nasabah. Atau dalam usaha pemberian modal kepada nasabah, bank
mensyaratkan keuntungan yang harus dijamin.
Ketimpangan akan
terjadi jika salah satu pihak mengalami kerugian atau pihak yang mengelola
mendapatkan keuntungan berlipat, sedangkan bagian yang didapatkan oleh pihak
yang memberi modal tidak bertambah.
Selain itu, membagi
kerugian bersama berarti orang yang mengelola ( mudharib ) tidak dikenai
kewajiban untuk mengembalikan modal awal jika terjadi
kerugian yang disebabkan bukan karena kelalaian nya.
Maka mengingat resiko
yang terdapat dalam praktik mudharabah,
bank sariah harus menjelaskan mekanisme mudharabah
yang diteapkan pada tabungan berjangka dan deposito secara gambalang kepada
nasabah yang ingin menabung atau yang mendeposito uang nya. Hal ini dimasukkan
untuk memenuhi sarat akad mudharabah yang harus dilakukan atas dasar suka sama
suka.[14]
Mungkin itu saja yang dapat kami paparkan mengenai mudharabah ( bagi hasi ), dari segi
defenisi, dasar hukum serta sampai manfaat dan resiko didalam mudharabah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Jadi dari beberapa hal
yang telah kami uraikan di atas, kami dapat menyimpulkan secara keseluruhan
dari mudharabah itu sendiri adalah :
Secara etimologi, kata mudharabah berasal dari kata dharb. Dalam bahasa Arab, kata ini
termasuk di antara kata yang mempunyai banyak arti. Di antaranya, memukul; dharaba Ahmad al-kalba, mengalir; dharaba damuhu, berenang; dharaba fi al ma’, berjalan; dharaba fi
al-ardh dan lain sebagainya. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam kata
tersebut bergantung pada kata yang mengikutinya dan konteks yang membentuknya.
Namun di balik keluwesan kata ini dapat ditarik benang merah yang dapat
mempresentasikan keragaman makna yang ditimbulkan, yaitu bergeraknya sesuatu
kepada sesuatu yang lain.
Menurut Pasal 232 kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah, rukun mudarabah ada tiga, yaitu sebagai berikut:
a.
Shahib
al-mal/pemilik modal
b.
Mudharib/pelaku usaha
c.
Akad.
Menurut pasal 231 kompilasi hukum
ekonomi syariah, syarat mudarabah,
yaitu sebagai berikut:
a.
Pemilik modal
wajib menyerahkan dana dan/ atau barang yang berharga kepada pihak lain untuk
melakukan kerja sama dalam usaha.
b.
Penerima modal
menjalankan usaha dalam bidang yang di sepakati.
c.
Kesepakatan
bidang usaha yang akan di lakukan di tetapkan dalam akad.[15]
[5] Muhammad, Manajmen Pembiayaan Mudharabah di bank
Syariah,(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008 ) hal 48-49
[8] Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah : dalam Prespektif
kewenangan peradilan Agama, (Jakarta : Prenada Media, 2016 ) hal 216
[10] Abdul Manan, Hukum Ekonomi
Syariah dalam prespektif kewenangan peradilan agama, ( Jakarta : Fajar
Interpratama Mandiri, 2016 ) 216-218
[13] Ibnu Rusyd, bidyatu`
I-Mujtahid, (Semarang, : Asy-Syifa`, 1990 ) hlm. 262-263
Tidak ada komentar:
Posting Komentar