Senin, 08 Juli 2019

MUDHARABAH



A.    Defenisi Mudharabah
Secara etimologi, kata mudharabah berasal dari kata dharb. Dalam bahasa Arab, kata ini termasuk di antara kata yang mempunyai banyak arti. Di antaranya, memukul; dharaba Ahmad al-kalba, mengalir; dharaba damuhu, berenang; dharaba fi al ma’, berjalan; dharaba fi al-ardh dan lain sebagainya. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam kata tersebut bergantung pada kata yang mengikutinya dan konteks yang membentuknya. Namun di balik keluwesan kata ini dapat ditarik benang merah yang dapat mempresentasikan keragaman makna yang ditimbulkan, yaitu bergeraknya sesuatu kepada sesuatu yang lain.
Di dalam Al-Qur’an kata mudharabah tidak disebutkan sejarah jelas. Al-Qur’an hanya mengungkapkan mustaq dari kata dharaba sebanyak 58 kali. Di antara jumlah itu, terdapat kata yang dijadikan oleh sebagian besar ulama fiqh sebagai akar kata dari mudharabah, yaitu kata dharaba fi al ardh yang artinya berjalan di muka bumi. Mereka menganggap bahwa yang dimaksud berjalan di muka bumi ini adalah bepergian berjalan ke suatu wilayah untuk sebuah perdagangan.[1]
Secara terminologis mudarabah adalah kontrak ( perjanjian ) antara pemilik modal ( rab al-mal ) dan pengguna dana ( mudharib ) untuk digunakan untuk aktivitas yang produktif di mana keuntungan dibagi dua antara pemodal dan pengelolah modal. Kerugian jika ada ditanggung oleh pemilik modal, jika kerugian itu terjadi dalam keadaan normal, pemodal ( rab al-mal ) tidak boleh intervensi kepada pengguna dana ( mudharib ) dalam menjalankan usahanya.
Mudarabah suatu bentuk kontrak yang lahir sejak zaman Rasulullah SAW. Sejak zaman jahiliah  atau sebelum Islam. Dan Islam menerimanya dalam bentuk  bagi hasil dan investasi. Dalam bahasa Arab ada 3 istilah yang digunakan untuk bentuk organisasi bisnis ini: Qiradh, muqaqadhah, dan mudarabah. Ketiga istilah ini tidak ada perbedaan yang prinsip. Perbedaan istilah ini mungkin disebabkan oleh faktor geografis. Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal di Irak menggunakan istilah mudarabah, sebaliknya Iman Malik dan Syafi’i menggunakan istilah qiradh atau muqaradhah, mengikuti kebiasaan di Hijaz.
Menurut Pasal 20 ayat (4) kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, mudarabah adalah kerja sama antara pemilik dana dengan pengelola modal untuk melakukan usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah.[2]

Dalam fiqih muamalah, definisi terminologi mudharabah diungkapkan secara macam-macam oleh beberapa ulama mazhab, di antaranya:
1.      Mazhab Hanafi, yaitu; suatu perjanjian untuk berkongsi di dalam keuntungan dengan modal dari salah satu pihak dan kerja (usaha) dari pihak lain.
2.      Mazhab Maliki, yaitu; penyerahan uang di muka oleh pemilik modal dalam jumlah uang yang ditentukan kepada seorang yang usaha dengan uang itu dengan imbalan sebagian dari keuntungan.
3.      Mazhab Syafi’i, yaitu: bahwa pemilik modal menyerahkan sejumlah uang kepada penguasa untuk dijalankan dalam suatu usaha dagang dengan keuntungan menjadi milik bersama antara keduanya.
4.      Mazhab Hambali, yaitu; penyerahan suatu barang atau sejenisnya dalam jumlah yang jelas dan tertentu kepada orng yang mengusahakannya dengan mendapat bagian tertentu dari keuntungannya.
Satu hal yang barangkali terlupakan oleh keempat mazhab ini dalam mendefinisikan mudharabah adalah bahwa kegiatan kerja sama mudharabah merupakan jenis usaha yang tidak secara otomatis mendatangkan hasil. Oleh karena itu, penjabaran mengenai untung dan rugi perlu untuk diselipkan sebagai bagian yang integral dari sebuah definisi yang baik.[3]
B.     Dasar hukum mudharabah
Dasar kebolehan praktik mudarabah adalah Q.S. Al-Baqarah (2) : 198 ; “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia dari Tuhanmu “. Adapun dalil sunah adalah bahwasanya Nabi pernah melakukan akad mudarabah dengan harta Khadijah ke negeri Syam ( waktu ketika beliau belum menjadi istri Rasulullah SAW). Dan Hadis “ dari Shuhaibah Rasulullah SAW, bersabda : ada tiga perkara yang diberkati : jual belinyang ditangguhkan, memberi modal, dan mencampur gandum dengan kurma untuk keluarga, bukan untuk dijual.” (H.R. Ibnu Majah)
Diriwayatkan dari Daruquthni Hakim Ibn Hizam apabila memberi modal kepada seseorang, dia mensyaratkan: harta jangan digunakan untuk membeli binatang, jangan kamu lakukan salah satu dari larangan-larangan itu, maka kamu harus bertanggung jawab terhadap hartaku.[4]
Kemudian didalam dasar hukum yang lain juga dimuat :
Firman Allah:
Artinya :
Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah Swt.....”(Q.S Al-Muzammil [73]: 20).
Firman Allah:
 
Artinya :
Apabila telah di tunaikan sholat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. ( Q.S Al-jum’ah [62]: 10)

            Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwasanya Sayyidina Abbas jikalau memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah, ia mensyaratkan agar dana nya tidak di bawa mengarungi lautan dan menuruni lembah yang berbahaya. Apabila menyalahi peraturan, yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Di sampaikannyalah syarat-syarat tersebut ke Rosulullah Saw. dan Rosul pun memperkenankannya. ( hadis di kutip olem imam alfasi dalam majama ‘assawaid 4/161)
            Hadis lain yang senada telah di riwayatkan oleh imam Darul Quthni dari perawi-perawi yang dapat di percayai. Dari syu’aib r.a bahwa Rosululloh Saw. Bersabda: “tiga perkara di dalamnya terdapat keberkatan, (1) menjual dengan pembayaran secara kredit, (2) muqaradah (nama lain dari mudharabah), (3) mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan bukan untuk di jual.” (HR Ibnu Majah)
            Rahmat Allah Swt. Tercurahkan atas dua pihak yang sedang bekerja sama selama mereka tidak melakukan penghianatan, manakala berkhianat, bisnisnya akan tecela dan keberkahan pun akan sirna dari padanya. (HR Abu Daud, Baihaqi, Al Hakam). [5]

C.     Rukun dan Syarat Mudharabah
Menurut Ulama Syafi’iyah, rukun qiradh atau mudarabah ada enam , yaitu:
1)      pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya.
2)      Orang yang bekerja, yaitu mengelolah harta yang diterima dari pemilik barang.
3)      Akad mudarabah, dilakukan oleh pemilik dengan pengolah barang
4)      Maal, yaitu harga pokok atau modal.
5)      Amal, yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba.
6)      Keuntungan.
Menurut Pasal 232 kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, rukun mudarabah ada tiga, yaitu sebagai berikut:
1)      Shahib al-mal/pemilik modal
2)      Mudharib/pelaku usaha
3)      Akad.
Menurut Sayid Sabi, rukun mudarabah adalah ijab dan kabul yang keluar dari orang yang memiliki keahlian.[6]
Syarat Mudharabah
Syarat-syarat sah mudarabah berhubungan dengan rukun-rukun mudarabah itu sendiri. Syarat-syarat sah mudarabah adalah sebagai berikut:
1.      Modal atau barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai. Apabila barang itu berbentuk emas atau perak batangan (tabar), maka emas hiasan atau barang dagangan lainnya, mudarabah tersebut batal.
2.      Bagi orang yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasawuf, maka dibatalkan akad anak-anak yang masih kecil, orang gila, dan orang-orang yang berada di bawah pengampunan.
3.      Modal harus di ketahui dengan jelas agar dapat di bedakan antara modal yang di perdagangkan dan laba atau keuntungan dari perdagangan tersebut yang akan di bagikan kepada dua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah di sepakati.
4.      Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal harus jelas persentasenya, umpamanya setengah, sepertiga atau seperempat.
5.      Melafazkan ijab dari pemilik modal-misalnya aku serahkan uang ini kepadamu untuk dagang jika ada keuntungan akan di bagi dua-dan kabul dari pengelola.
6.      Mudharabah bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola harta untuk berdagang di negara tertentu, memperdagangkan barang-barang tertentu, pada waktu-waktu tertentu, sementara di waktu lain tidak terkena persyaratan yang mengikat sering menyimpang dari tujuan akad mudarabah ada persyaratan-persyaratan, maka mudarabah tersebut menjadi rusak (fasid) menurut pendapat al-syafi’i dan malik. Adapun menurut abu hanifah dan ahmad ibn hambal, mudarabah tersebut sah.
Menurut pasal 231 kompilasi hukum ekonomi syariah, syarat mudarabah, yaitu sebagai berikut:
1)      Pemilik modal wajib menyerahkan dana dan/ atau barang yang berharga kepada pihak lain untuk melakukan kerja sama dalam usaha.
2)      Penerima modal menjalankan usaha dalam bidang yang di sepakati.
3)      Kesepakatan bidang usaha yang akan di lakukan di tetapkan dalam akad.[7]
D.    Prisip Mudharabah
Aplikasi dari prinsip mudharabah adalah penyimpanan atau deposan bertindak sebagai shahibul maal ( pemilik modal ) dan bank sebagai mudharib ( pengelola ). Dana tersebut digunakan oleh bank untuk melakukan pembiayaan murabahah atau ijarah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Dapat pula dana tersebut digunakan oleh bank untuk melakukan pembiayaan mudharabah . hasil usaha ini akan dibagi berdasarkan nisbah yang disepakati. Dalam hal bank mempergunakannya untuk melakukan pembiayaan mudharabah, maka bank bertanggung jawab penuh atas kerugian yang terjadi.[8]

E.     Ketentuan mudharabah
Ketentuan mudharabah menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah adalah sebagai berikut :
Pasal 238 :
1)      Status benda yang berada ditangan mudharib  yang diterima dari sahibu al-mal  adalah modal.
2)      Mudharik  berkedudukan sebagai wakil sahib al-mal dalam menggunakan modal yang diiterimanya.
3)      Keutungan yang dihasilkan dalam mudharabah  menjadi milik bersama.[9]

F.     Jenis – Jenis Mudharabah
1.      Mudharabah muthlaqah ( General Invesment )
Bentuk mudharabah ini, hal utama yang menjadi cirinya adalah pemilik modal tidak memberikan batasan-batasan atas dana yang diinvestasikannya atau dengan kata lain mudharib diberi wewenang penuh mengelola tampa terikat waktu, tempat, jenis usaha, dan jenis pelayanannya.
Ketentuan umum dari produk mudharabah muthlaqah dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.       Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberitahuan keuntungan dan atau pembagian keuntungan secara risiko yang dapat ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal tersebut harus dicantumkan dalam akad.
b.      Untuk tabungan mudharabah , bank dapat memberikan buku tabungan sebagai bukti penyimpanan, kartu ATM, dan atau alat penarikan lainya kepada penabung. Untuk deposito mudharabah , bank wajib memberikan sertifikat atau tanda penyimpanan ( bilyet ) deposito kepada deposan.
c.       Tabungan mudharabah dapat diambil setiap saat oleh penabung sesuai dengan perjanjian yang disepakati, namun tidak diperkenankan mengalami saldo negative.
d.      Deposito mudharabah hanya dapat dicairkan sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati. Deposito yang diperpanjang, setelah jauh tempo akan diperlakukan sama seperti deposito baru, tetapi bila pada akad sudah dicantumkan perpanjangan otomatis, maka tidak perlu dibuat akad baru.
e.       Ketentuan-ketentuan yang lain yang ada kaitannya dengan tabungan dan deposito tetap berlaku sepanjang tidak bertantangan dengan prinsip syariah.


2.      Mudharabah muqayyadah ( Resticted Invesment )
            Jenis mudharabah  ini merupakan simpanan khusus, di mana pemilik modal dapat menetapkan sayarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh bank. Misalnya disyaratkan digunakan untuk bisnis tertentu, atau disyaratkan digunakan dengan akad tertentu, atau disyaratkan digunakan untuk nasabah tertentu. Jadi mudharib hanya bisa mengelola dana tersebut sesuai dengan batasan jenis usaha, tempat dan waktu tertentu saja. Aplikasinya dalam perbankan adalah ispecial investment based on restricted mudharabah.
            Karakteristik jenis simpanan mudharabah muqayyadah ini sebagai berikut :
a.       Pemilik dana wajib menetapkan syarat- syarat tertentu yang harus diikuti oleh bank wajib membuat akad yang  mengatur persyaratan penyaluran dana simpanan khusus.
b.      Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberitahuan keuntungan dan atau pembagian keuntungan secara resiko yang dapat menimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila sudah tercapai kesepakatan, maka hal tersebut harus dicantumkan dalam akad.
c.       Sebagai bukti simpanan, bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana dari rekening lainya.
d.      Untuk deposito mudharabah , bank wajib memberikan sertifikat atau tanda penyimpanan ( bilyet ) deposito kepada deposan ( penyimpanan ).
            3. Mudharabah muqayyadah off Balance Sheet
Jenis mudharabah ini merupakan penyaluran dana mudharabah lansung kepada pelaksana usahanya, di mana bank bertindak sebagai perantara yang mempertemukan antara pemilik dana dan pelaksanaan usaha. Pemilik dana dapat menetapkan usaha. Pemilik dana dapa menetapkan waktu syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank dalam mencari kegiatan usaha yang akan dibiayai dan pelaksana usahanya.
Karakteristik dari jenis simpanan mudharabah ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.       Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank    wajib memisahkan dana dari rekening lainya. Simpanan khusus dicatat pada pos tersendiri dalam rekening administrative.
b.      Dana simpanan khusus harus disalurkan secara lansung kepada pihak yang diamanatkan oleh pemilik dana.
c.        Bank menerima komisi atas jasa mempertemukan kedua pihak adapun antara pemiliki dana dan pelaksana usaha berlaku nisbah bagi hasil.[10]

G.     Perbedaan bagi hasil antara bank islam dengan bank konvensional
Hal mendasar yang membedakan antara lembaga keuangan non Islam dan Islam adalah terletak pada pengembalian dan pembagian keuntungan yang diberikanoleh nasabah kepada bank dan atau yang diberikan bank kepada nasabah. Sehingga terdapat istilah bunga dan bagi hasil.
Untuk lebih jelasnya, perbedaannya adalah sebagai berikut :
a.       Pada bank bagi hasil, penentuan besarnya rasio bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi. Sedangkan pada bank sistem bunga ( konvensional ) penentuan bunga dibuat pada waktu akad tampa berpedoman pada untung rugi.
b.      Pada bank bagi hasil, besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh. Sedangkan pada bank konvensional besarnya persentase berdasarkan pada jumlah modal yang dipinjamkan.
c.       Pada bank bagi hasil, bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek, sekiranya proyek itu tidak menghasilkan keuntungan maka kergian ditanggung bersama. Sedangkan pada bank konvensional pembayaran bunga dilakasanakan sebesar yang dijanjikan tampa melihat untung rugi yang dialami proyek.
d.      Pada bank bagi hasil, pembagian laba meningkat sesuai dengan menigkatnya jumlah pendapatan yang dihasilkan. Sedangkan pada bank konvensional, pendapatan berbentuk bunga tetap ( tidak menigkat ) , walaupun pengguna dana memperoleh keuntungan berlipat ganda pada saat-saat ekonomi sedang pasar naik.
e.       Pada bank bagi hasil, hubungan dengan nasabah berdasarkan prinsib bersama dan kemitraan. Sedangkan pada bank konvensional, hubungan tersebut merupakan hubungan debitur-kreditor.
f.       Pada bank bagi hasil, penyaluran dana lebih berdasarkan pada pertimbangan profitalitas suatu proyek yanag hendak dibiayaai. Sedangkan pada bank konvensional, mementingkan jaminan pengembalian nilai nominal plus bunga, sekalipun provitalis proyek kurang meyakinkan.
g.      Untuk menentukan kehalalan berbagai produk yang ditawarkan bank, pada bank bagi hasil, terdapat dewan pengawas syariah. Sementara pada bank konvesional tidak ditemukan.[11]
H.    Pembatalan dan rusaknya mudharabah
Mudharabah menjadi batal apabila ada perkara-perkara sebagai berikut :
1.      Tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat mudharabah.  Jika salah satu syarat mudharabah tidak terpenuhi, sedangkan modal sudah dipegang oleh pengelola dan sudah diperdagangkan maka pengelola mendaatkan sebagian keuntungannya sebagai upah, karena tindakan atasa izin pemilik modal dan ia melakukan tugas dan berhak menerima upah. Jika terdapat keuntungan, batas keuntungan tersebut untuk pemilik modal. Jika ada kerugian, kerugian itu menjadi tanggung jawab pemilik modal karena pengelola adalah sebagai buruh yang hanya berhak menerima upah dan tidak bertanggung jawab sesuatu apapun, kecuali atas kelalaianya.
2.      Pengelola dengan sengaja meniggalkan tugasnya sebagai pengelola modal atau pengelola modal berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tujuan akad. Dalam keadaan seperti ini pengelola modal bertanggung jawab jika terjadi kerugian karena dialah penyebab kerugian.
3.      Apabila pelaksana atau pemilik modal meninggal dunia, mudharabah menjadi batal.[12]
Mudharabah yang rusak
Fuqaha` telah sependapat bahwa akad bagi hasil yang terjadi tidak berdasarkan cara yang dibolehkan oleh Syara`  adalah rusak, selama pekerjaan belum dimulai.
Kemudian mereka berselisih pendapat dalam hal, apabila pekerjaan sudah dimulai, tindakan apakah yang harus dilakukan berkenaan dengan akad bagi hasil tersebut?.
Salah satu pendapat mengatakan, bahwa akad tersebut dikembalikan kepada pengupahan mitsil  pada setiap jenis kerusakan. Ini adalah qiyas pendapat dari Imam Syafi`I  dan qiyas salah satu dari dua riwayat dari Imam Malik.
Pendapatnya lainnya mengatakan bahwa akad tersebut dikembalikan kepada akad bagi hasil mitsil secara mutlak. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu `I-Majusyun, dan riwayatnya dari Imam Malik.
Ibnu `I-Qasim berpendapat, bahwa sebagian akad bagi hasil dikembalikan kepada akad bagi hasil mitsil , dan pada sebagian lainya dikembalikan kepada pengupahan mitsil .
Penafsiran terhadap pendapatnya dalam masalah ini berbeda-beda. Dalam madzhabnya dikatakan, bahwa akad bagi hasil dikembalikan kepada pengupahan mitsil , kecuali dalam empat perkara :
1.      Akad bagi hasil pada kebun yang berisi kurma yang sudah siap dimakan
2.      Apabila pihak menggarap mengajukan syarat kepada pemilik kebun untuk melakukan kerjasama.
3.      Akad bagi hasil bersama jual beli berada dalam suatu penjualan.
4.      Apabila pihak menggarap mengadakan akad bagi hasil untuk suatu kebun selama satu tahun atas sepertiga hasil, dan satu tahun lainnya atas separuh hasil.[13]
I.       Manfaat dann resiko Mudharabah
Manfaat mudharabah adalah :
a.       Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha meningkat.
b.      Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan / hasil usaha bank, sehingga bank tidak pernah mengalami negative spread.
c.       Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow ( arus kas ) usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.
d.      Bank selektif dan hati-hati ( prudent ) mencari usaha yang benar, halal, aman, dan menguntungkan yang konkret dan benar benar terjadi itulah yang akan terjadi.
e.       Prinsip bagi hasil dalam  mudharabah  berbeda dengan prinsip bagi tetap, dimana bank akan menagih penerima pembiayaan ( nasabah ) sesuai dengan yang disepakati berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan krisis ekonomi.
Resiko mudharabah
Mengenal resiko mudharabah  kita tetap berpijak pada prinsip awal mudharabah, yaitu membagi hasil keuntungan dan kerugian bersama.  Oleh karenanya, kegiatan usaha bank konfesional bukan termasuk kegiatan mudharabah,  sebab bank sudah menjamin keuntungan yang akan diperoleh nasabah. Atau dalam usaha pemberian modal kepada nasabah, bank mensyaratkan keuntungan yang harus dijamin.
Ketimpangan akan terjadi jika salah satu pihak mengalami kerugian atau pihak yang mengelola mendapatkan keuntungan berlipat, sedangkan bagian yang didapatkan oleh pihak yang memberi modal tidak bertambah.
Selain itu, membagi kerugian bersama berarti orang yang mengelola ( mudharib )  tidak dikenai kewajiban  untuk mengembalikan modal awal jika terjadi kerugian yang disebabkan bukan karena kelalaian nya.
Maka mengingat resiko yang terdapat dalam praktik mudharabah, bank sariah harus menjelaskan mekanisme mudharabah yang diteapkan pada tabungan berjangka dan deposito secara gambalang kepada nasabah yang ingin menabung atau yang mendeposito uang nya. Hal ini dimasukkan untuk memenuhi sarat akad mudharabah  yang harus dilakukan atas dasar suka sama suka.[14]
                Mungkin itu saja yang dapat kami paparkan mengenai mudharabah ( bagi hasi ), dari segi defenisi, dasar hukum serta sampai manfaat dan resiko didalam mudharabah.













           



BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Jadi dari beberapa hal yang telah kami uraikan di atas, kami dapat menyimpulkan secara keseluruhan dari mudharabah  itu sendiri adalah :
Secara etimologi, kata mudharabah berasal dari kata dharb. Dalam bahasa Arab, kata ini termasuk di antara kata yang mempunyai banyak arti. Di antaranya, memukul; dharaba Ahmad al-kalba, mengalir; dharaba damuhu, berenang; dharaba fi al ma’, berjalan; dharaba fi al-ardh dan lain sebagainya. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam kata tersebut bergantung pada kata yang mengikutinya dan konteks yang membentuknya. Namun di balik keluwesan kata ini dapat ditarik benang merah yang dapat mempresentasikan keragaman makna yang ditimbulkan, yaitu bergeraknya sesuatu kepada sesuatu yang lain.
Menurut Pasal 232 kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, rukun mudarabah ada tiga, yaitu sebagai berikut:
a.       Shahib al-mal/pemilik modal
b.      Mudharib/pelaku usaha
c.       Akad.
Menurut pasal 231 kompilasi hukum ekonomi syariah, syarat mudarabah, yaitu sebagai berikut:
a.       Pemilik modal wajib menyerahkan dana dan/ atau barang yang berharga kepada pihak lain untuk melakukan kerja sama dalam usaha.
b.      Penerima modal menjalankan usaha dalam bidang yang di sepakati.
c.       Kesepakatan bidang usaha yang akan di lakukan di tetapkan dalam akad.[15]


[1] Fafdd,HUKUM PERBANKAN SYARIAH, hal 68
[2] Maardani,Fiqh ekonomi syariah,(Jakarta : Prenada Media Group, 2015 ) hal 193-194
[3] Fafdd,HUKUM PERBANKAN SYARIAH,
[4] Maardani,Fiqh ekonomi syariah,(Jakarta : Prenada Media Group, 2015 ) hal 194
[5] Muhammad, Manajmen Pembiayaan Mudharabah di bank Syariah,(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008 ) hal  48-49
[6] Maardani,Fiqh ekonomi syariah,(Jakarta : Prenada Media Group, 2015 ) hal 194-195
[7] Ibid, hal 195-196
[8] Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah : dalam Prespektif kewenangan peradilan Agama, (Jakarta : Prenada Media, 2016 ) hal 216
[9] Maardani,Fiqh ekonomi syariah,(Jakarta : Prenada Media Grou, 2015 ) hal 198
[10] Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam prespektif kewenangan peradilan agama, ( Jakarta : Fajar Interpratama Mandiri, 2016 ) 216-218
[11] Dnaas, Hukum Perbankan Syariah, hal 77-78
[12] Maardani,Fiqh ekonomi syariah,(Jakarta : Prenada Media Grou, 2015 ) hal 201
[13] Ibnu Rusyd, bidyatu` I-Mujtahid, (Semarang, : Asy-Syifa`, 1990 ) hlm. 262-263
[14] Dfjlwkwel, Hukum Perbankan Syariah, hal76-77
[15] Ibid, hal 195-196

Tidak ada komentar:

Posting Komentar