Senin, 08 Juli 2019

PENDAPAT FUQAHA TENTANG PENETAPAN TA`ZIR



BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Manusia sebagai makluk sosial maka tidak akan terlepas dari yang namanya interaksi sesama manusia, dan interaksi tersebut kadang menimbulkan gesekan dan perbedann yang kemudian terjadinya sebuah tindakan yang merugikan suatu pihak atau tindakan kejahatan atau yang kita kenal dengan yang namanya tindak pidana.
    Di dalam islam kita kenal dengan yang namanya Jinayah dan dimana tindak pidananya dikenal dengan sebutan jarimah, dan dialam hal itu tentu ada upaya agar tindakan tersebut tidak diikuti dan tidak meraja lela maka dilakukan yang namanya sebuah hukuman, dan hukuman tersebut ada yang datang dari Allah, Hadist. Dan bahkan ada yang tidak ada bersumber dari hal tersebut dan itu lah yang dinamakan dengan hukuman Ta`zir.
Dengan hal ini dalam penerapannya para fuqaha berbeda pendapat, maka dari itu kami akan membahas apa saja yang membedakan para fuqaha tersebut di dalam penerapan jarimah ta`zir

  1. Rumusan masalah.
1.      Apa itu Ta`zir
2.      Perbedaan fuqaha dalam penerapan hukuman ta`zir
3.      Jenis-jenis ta`zir









BAB II
PEMBAHASAAN

A.    Defenisi Ta`zir
Ta`zir secara harfiah berarti menghinakan pelaku kriminal karena tindak pidananya yang memalukan. Dan didalam hukumannya tidak terdapat di dalam Al-Quran dan Sunnah, melainkan qadhi atau ulil amri diperkenankan untuk menimbangkan baik hukuman yang diberikan atapun kadarnya. Dengan pertimbangan-pertimbangan yang tujuannya agar tindak pidana tersebut jera untuk melakukan tindak pidana.[1]
Hukuman ta`zir  yang dikemukakan oleh Imam al-Mawadi adalah sebagai berikut “ta`zir  adalah hukuman yang bersifat mendidik atas perbuatan dosa ( maksiat ) yang hukumannya belum ditetapkan oleh Syara`”.[2]
Ibnu Manzhur menjelaskan bahwa ta`zir adalah satu jenis hukuman yagn tidak ada unsur had , berfungsi untuk mencegah pelaku tindak pidana dari ritinitas kejahatannya, juga untuk menolak pelaku dari berbuat kemaksiatan.
Abu Zahrah mengatakan bahwa ta`zir  adalah sanksi hukum yang tidak disebutkan oleh Syar`i tentang jenis dan ukurannya. Syar`i menyerahkan penentuan ukuran hukuman kepada ulil amri atau seorang hakim yang mampu menggali hukum, sebagaimana pada perkara  yang ditangani oleh hakim sebelumnya. [3]
Wahbah al-Zuhaili juga mengemukakan bahwa ta`zir  adalah setiap tindak jarimah yang tidak termasuk dalam cakupan had dan kafarat. Baik menyangkut pelanggaran terhadap Allah, seperti makan disiang hari di bulan Ramadhan tampa uzur, meninggalkan sholat. ta`zir  juga berlaku pada pelanggaran terhadap hak manusia, seperti mencium dan melakukan adegan yang tidak senonoh dengan seorang wanita yang bukan isterinya, mencuri barang berharga, mencaci, menyakiti.
Menurut Ibnu al-Qayyim ta`zir  adalah jenis kemaksiatan yang tidak diancam dengan hukuman had dan kafarat. Seperti mencium wanita yang bukan isterinya, berdua-duaan dengannya,  dan lain-lain. Dan hal ini menurut jumhur ulama haruslah wajib dijatuhkannya hukuman ta`zir  kepada tindak pidana tersebut, kecuali dari kalangan Syafi`iyyah berpendapat bahwa hal ini kembali kepada ijtihad hakim antara akan menghukum atau tidak.[4]
B.     Pandangan Fuqaha dalam penerapan sanksi ta`zir
Imam Mazhab berbeda pendapat dalam hal penerapan hukuman ta`zir. Menurut Mazhab Hanafi, diserahkan kepada pemerintah atau ulil amri dengan mempertimbangkan stratifikasi manusia yang dibaginya empat macam, yaitu :
1)      Asyraf al-Asyraf  ( orang yang paling mulia adalah golongan ulama ). Golongan ini cukup diberi peringatan tentunya sudah merupakan pelajaran yang pajit.
2)      Al-Asyraf ( orang yang mulia yakni para pemimpin ). Golongan ini harus diberi sanksi yang lebih berat, bias dengan peringatan keras atau dihadirkan kemeja hijau ( pengadilan ).
3)      Al-Ausath golongan ini harus diberi peringatan keras atau hukuman penjara.
4)      Al-Akhsa ( rendah ) mereka harus dipenjara atau hukuman jilid.
Menurut Ibn Abidin, apabila yang melakukan tindak pidana dari golongan orang yang mulia, ternyata mengulangi lagi kejahatannya maka dapat diancam dengan hukuman jilid atau cambuk, seperti masyarakat biasa.
Menurut Imam Malik, hukuman ta`zir disesuaikan dengan situasi dan kondisi pelaku, bahkan perbedaan tempat dan waktu akan mempengaruhi berat ringannya hukuman. Sedangkan menurut Mazhab Syafi`i, pada prinsipnya hukuman ta`zir diserahkan kepada ijtihad ulil amri, baik jenisnya maupun berat ringan hukuman disesuaikan dengan keadaan pelaku, dan tindak pidana yang dilakukan.
Menurut Mazhab Hambali, sanksi hukuman ta`zir  juga berbeda-beda, baik dari segi jenis, kadar, sifat maupun kondisi pelaku, juga diserahkan kepada ulil amri untuk menerapkannya, dan mempertimbangkan berat ringannya hukumannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Ibnu Taimiyyah, bahwa ta`zir merupakan otoritas pemerintah yang hukumannya disesuaikan dengan tindak pidana yang dilakukannya.
Berdasarkan pendapat para ulama di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa jarimah ta`zir merupakan hukuman yang diserahkan kepada pemerintah ( ulil amri ), khususnya Hakim yang menjatuhkan hukuman. Ia dapat menentukan jenis hukuman menurut ijtihadnya, sehingga dapat memberikan pengaruh baik preventif, represif, kuratif, dan edukatif terhadap pelaku jarimah, berdasarkan pertimbangan kemanusiaan.
Imam Mazhab berbeda pendapat tentang otoritas Hakim dalam manjatuhkan hukuman. Menurut Mazhab Hanafi, otoritas Hakim tidak mutlak, hanya dari segi macamnya hukuman, berarti bila sanksi yang dipilih adalah sanksi jilid, maka harus dikaitkan dengan batas tertinggi had dan tidak boleh melampauinya.
Menurut Mazhab Syafi`i, apabila Hakim memilih hukuman pengasingan ( al-Taghrib ) sebagai hukuman ta`zir maka tidak boleh melampaui batas lebih dari satu tahun. Golongan Maliki berpendapat bahwa otoritas hakim berpengaruh dari segi macam dan kadarnya, jadi dapat memilih salah satu macam hukuman menurut ijtihadnya, bahkan dapat melampaui batas sanksi hudud, baik jilid maupun hukuman pembuangan bila kemaslahatan memang melampaui batas had.
Menurut Mazhab Hambali dan sebagian Mazhab Syafi`iyah apabila si terhukum itu seorang residivis dan hukum hak tidak memberikan pengaruh baginya maka hakim boleh menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup bahkan hukuman mati agar tidak membawa mudarat kepada manusia. Namun dikalangan Mazhab Syafi`iyah ada yang berpendapat bahwa hukuman mati itu suatu ancaman yang berkaitan dengan siyasah untuk menjaga stabilitas dan keamanan Negara, kelangsungan pemerintahan dan untuk menghindarkan kerusakan dimuka bumi.  Hal ini sesungguhnya menjadi otoritas pemerintah, bukan otoritas hakim pengadilan.
Pendapat para mazhab di atas menunjukkan bahwa ancaman ta`zir diserahkan kepada Hakim untuk menjatuhkannya, akan tetapi ia harus mempertimbangkan dari berbagai segi tampa melampaui batas kemanusiaan. Jadi secara singkat hubungan hakim dengan terpidana dalam kasus ta`zir  ini sehubungan dengan antara hakim dengan si terhukum antara seorang tabib ( dokter ) dengan pasiennya. Obat yang diberikan baik dosisnya maupun jenisnya harus sesuai dengan kebutuhannya tidak lebih dan tidak kurang agar penyakitnya cepat sembuh dengan tidak menimbulkan dampak sampingan yang berakibat fatal.[5]
C.     Jenis-jenis hukuman ta`zir  
Hukuman ta`zir  ini jumlahnya cukup banyak, mulai dari hukuman yang paling ringan sampai yang paling berat. Dalam penyelesaian perkara yang termasuk jarimah ta`zir  , hakim diberi wewenang untuk memilih diantara kedua hukuman tersebut, mana yang paling sesuai dengan jarimah yang dilakukan oleh pelaku. Jenis-jenis hukaman ta`zir  adalah sebagai berikut.
a.       Hukuman mati
Meskipun tujuan diadakannya hukuman ta`zir  itu untuk memberikan pengajaran ( ta`dib ) dan tidak boleh sampai membinasakan, namun kebanyakan para fuqaha membuat suatu pengecualian, yaitu dibolehkannya penjatuhan hukuman mati, apabila hukuman itu dikehendaki oleh kepentingan umum, misalnya untuk tindak pidana spionase ( mata-mata ), dan recidivis yang sangat berbahaya.
Oleh karena hukuman mati sebagai hukuman ta`zir  ini merupakan pengecualian maka hukuman tersebut harus dibatasi dan tidak diperluas, atau diserahkan sepenuhnya kepada hakim, seperti halnya hukuman ta`zir  yang lain. Dalam hal ini penguasa ( ulil amri ) harus menentukan jenis-jenis jarimah yang dapat dijatuhi hukuman mati.
b.      Hukuman jilid
Hukuman jilid ( cambuk ) merupakan hukuman pokok dalam syari`t islam untuk jarimah hudud, hanya ada beberapa jarimah yang dikenakan jilid, seperti zina, qadzaf, dan minuman qhamar. Untuk jarimah-jarimah ta`zir  bisa diterapkan dalam berbagai jarimah. Bahkan untuk jarimah-jarimah ta`zir  yang berbahaya, hukuman jilid lebih diutamakan, sebab :
1)      Hukuman jilid lebih banyak berhasil dalam memberantas para penjahat yang telah bisa melakukan tindak pidana.
2)      Hukuman jilid mempunyai dua batas, yaitu batas tertinggi dan batas terendah, sehingga hakim bisa memilih jumlah jilid yang ada diantara kudua hukuman tersebut yang lebih sesuai dengan keadaan pelaku jarimah.
3)      Biasa pelaksanaanya tidak merepotkan keuangan negara. disamping itu hukuman tersebut tidak menganggu kegiatan usaha terhukum, sehingga keluarga tidak terlantar, kerena hukuman jilid bisa dilaksanakan seketika dan setelah itu terhukum bisa bebas.
4)      Dengan hukuman jilid pelaku dapat terhindar dari akibat buruk hukuman penjara, seperti rusaknya akhlak dan kesehatan.
Hukuman jilid untuk ta`zir   ini tidak boleh melebihi hukuman jilid dalam hudud. Hanya saja mengenai batas maksimalnya tidak ada kesepakatan dikalangan fuqaha. Hal ini oleh karena hukuman had dalam jarimah hudud itu berbeda-beda antara satu jarimah dengann jarimah lainnya. Zina hukuman jilidnya seratus kali, qadzaf delapan puluh kali, sedangkan syurbul qhamar ada yang mengatakan empat puluh kali dan ada yang delapan puluh kali.
Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Muhammad, batas tertinggi hukuman jilid jalam ta`zir   adalah tiga puluh sembilan kali, sedangkan menurut Imam Abu Yusuf adalah tujuh puluh lima kali. Pendapat-pendapat tersebut diikuti juga oleh sebagaian fuqaha Syafi`iyyah dan Hanabillah. Dikalangan mazhab Syafi`i ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa hukuman jilid dalam ta`zir  boleh lebih dari tujuh puluh lima kali, tetapi tidak boleh lebi dari seratus kali. Dikalangan mazhab Hambali ada lagi tambahan dua pendapat, disamping tiga pendapat tersebut. Pendapat yang pertama mengatakan bahwa hukuman jilid yang diancamkan atas suatu perbuatan tidak boleh menyamai hukuman had yang dijatuhkan terhadap jarimah lain yang sejenis, tetapi boleh melebihi hukuman jarimah yang tidak sejenis. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa hukuma jilid dalama ta`zir  tidak boleh lebih dari sepuluh kali cambukan, karena ada hadis yang menyatakan demikian.
Dari kalangan ulama mazhab yang empat, hanya ulama-ulama Malikiyah yang berbeda pendapatnya. Menurut mereka hukuman jilid dalam ta`zir  sepenuhnya diserahkan kepada hakim, sehingga apabila hakim memandang perlu, hukuman jilid ini lebih dari seratus kali. Dengan demikian menurut Malikiyah, tidak ada batas tertentu untuk hukuman ta`zir yangberupa jilid dan penguasa ( hakim ) bisa menjatuhkan hukuman yang lebih berat, apabila dipandang perlu demi keselamatan masyarakat. [6]
c.       Hukuman penjara/kurungan
Dalam hukum Islam, ada dua macam hukuman penjara/kurungan.  Pembagian ini berdasarkan lama waktu hukuman. Pertama, hukuman penjara terbatas. Batas terendah dari hukuman ini adalah satu hari sedangkan untuk batas tertinggi, para ulama berbeda pendapat. Ulama Syafi`iyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina. Ulama lain menyerahkan semuanya kepada penguasa berdasarkan kemaslahatan. Kedua, hukuman penjara tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa, hukuman ini tidak ditentukan waktunya terlebih dahulu tetapi berlansung terus hingga terhukum mati atau bertobat dan kembali menjadi orang yang baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang-ulang melakukan jarimah yang berbahaya.[7]
d.      Hukuma pengasingan
Hukuman pengasingan merupakan salah satu jenis hukman ta`zir. Dalam jarimah zina ghair muhshan, Imam Abu Hanifah mengangganya sebagai hukuman ta`zir , tetapi imam yang lain memandanganya sebagai hukuma had  untuk jarimah-jarimah selain zina, hukuman ini diterapkan apabila perbuatan pelaku dapat menjalar atau merugikan orang lain. 
Masa dalam pengasingan jarimah ta`zir, menurut Syafi`iyyah dan Hanabillah, tidak boleh lebih dari satu tahun, agar tidak melebihi masa pengasihan dalam jarimah zina yang merupakan hukuman had. Sedangkan menurut imam Abu Hanifah, masa pengasingan bisa lebih dari satu tahun, sebab pengasingan disini merupakan hukuman ta`zir,mereka tidak mengemukakan batas waktunya dan menyerahkan hal itu kepada pertimbangan penguasa ( hakim ).


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Mazhab Hanafi, diserahkan kepada pemerintah atau ulil amri dengan mempertimbangkan stratifikasi manusia yang dibaginya empat macam, yaitu :
1)        Asyraf al-Asyraf  ( orang yang paling mulia adalah golongan ulama ). Golongan ini cukup diberi peringatan tentunya sudah merupakan pelajaran yang pajit.
2)        Al-Asyraf ( orang yang mulia yakni para pemimpin ). Golongan ini harus diberi sanksi yang lebih berat, bias dengan peringatan keras atau dihadirkan kemeja hijau ( pengadilan ).
3)        Al-Ausath golongan ini harus diberi peringatan keras atau hukuman penjara.
4)        Al-Akhsa ( rendah ) mereka harus dipenjara atau hukuman jilid.
Menurut Imam Malik, hukuman ta`zir disesuaikan dengan situasi dan kondisi pelaku, bahkan perbedaan tempat dan waktu akan mempengaruhi berat ringannya hukuman.
Sedangkan menurut Mazhab Syafi`i, pada prinsipnya hukuman ta`zir diserahkan kepada ijtihad ulil amri, baik jenisnya maupun berat ringan hukuman disesuaikan dengan keadaan pelaku, dan tindak pidana yang dilakukan.
Menurut Mazhab Hambali, sanksi hukuman ta`zir  juga berbeda-beda, baik dari segi jenis, kadar, sifat maupun kondisi pelaku, juga diserahkan kepada ulil amri untuk menerapkannya, dan mempertimbangkan berat ringannya hukumannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Ibnu Taimiyyah, bahwa ta`zir merupakan otoritas pemerintah yang hukumannya disesuaikan dengan tindak pidana yang dilakukannya.








B.     Daftar Pustaka


Ahmad Muslich Wardi, 2006,pengantar dan asa hukum pidana Islam, Jakarta : Sinar grafika.
Eldin H. Zainal, 2011,Hukum Pidana Islam sebuah perbandingan, Bandung : citapustaka media perintis.
Hasan Mustofa dan Beni Ahmad Saebani, 2013 ,Hukum Pidana Islam, Bandung :pustaka setia.
Irfan M.Nurul, 2011,Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam,Jakarta : Amzah.
Rahman Abdur, 1992,Tindak Pidana Dalam Syariat Islam,Jaka


[1] Abdur Rahman, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam,(Jakarta, rineka cipta, 1992 ) hal 14
[2] Ahmad Wardi Muslich,pengantar dan asa hukum pidana Islam, (Jakarta, Sinar grafika, 2006 ) hal 157-158
[3] M.Nurul Irfan,Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam,(Jakarta,Amzah,2011) hal 128
[4] Ibid hal 131-132
[5] Eldin H. Zainal,Hukum Pidana Islam sebuah perbandingan, ( Bandung, citapustaka media perintis,2011), hal 174-177
[6] Ahmad Wardi Muslich,pengantar dan asa hukum pidana Islam, (Jakarta, Sinar grafika, 2006 ) hal158-159
[7] Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani,Hukum Pidana Islam, (Bandung, pustaka setia,2013 ) hal 78-79

Tidak ada komentar:

Posting Komentar