A.
Hubungan
Peradilan Agama dengan hukum Islam
Sebelum
kita membahas lebih lanjut tentang hubungan peradilan agama dengan hukum islam,
alangkah kebih baiknya kita memahami terlebih dahulu apa itu yang dimaksud
dengan peradilan.
I.
Devenisi
perdailan
Perdilan
merupakan salah satu simbol dari kekuasan dan Pengadilan Agama Islam adalah
simbol dari kekuasaan Islam. Ini berarti terbentuknya secara lembaga tak lepas
dari kekuatan-kekuatan dan interaksi-interaksi yang dilakukan oleh penguasa
Negara sebagai perwujudan dari politik hukum yang di ambil. Pengadilan juga
bagian dari bagian pranara sosial sehingga corak dan perkembanagan masyarakat
islam di negara-negara yang
bersangkutan.
Secara yuridis,
hukum Islam (dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, waqaf, sedaqah, zakat, infaq dan ekonomi syariah)
berlaku di pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Hukum Islam yang
diberlakukan di Peradilan Agama tersebut dilegitimasi dan diakui secara
legal-formal dalam ketentuan undang-undang. Sebagai Peradilan keluarga,
Peradilan Agama berwenang dalam mengadili dan menyelesaikan sengketa keluarga
dan masyarakat islam, terutam yang berkaitan dengan perkawinan dan perceraian
saja tapi juga masalah warisan. Karena berbagai personal yang menyangkut harta
benda tidak terlepas dari keluarga, dengan sendirinya unsur-unsur wariasan
berkaitan erat dengan masalah keluarga.
Mengingat tujuan
utam Undang-undang No. 3 tahun 2006 tenang Peradilan Agama yaitu menempatkan
sebagai bagian dari keseluruan struktur pelaksanaan kehakiman, maka
eksistensinya tidak dimaksud secara khusus menjadi suatu Peradian keluarga.[1]
1.
pengertian
peradilan dalam konsep peradilan islam
mengenai
pengertian peradilan dalam konsep peradilan Islam inni akan ditampilkan
beberapa ta`rif yang dikemukakan oleh beberapa fuqaha berikut. Muhammad Salam
Madkur dalam bukunya yang berjudul “ al-Qadha`u fi al-Islam” menegemukakan bahwa yang dimaksud dengan
peradilan dalam konsep Islam adalah “ menyelesaikan sangketa antara dua pihak
dengan hukum Allah “. Wahbah az-Zuhaili menyampaikan pengertian dari peradilan
dalam konsep Islam itu berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh ulama
mazhab Syafi`i, yaitu “ Memutuskan pertentangan yang terjadi diantara dua orang
atau lebih yang bersangketa dengan merujuk kepada hukum Allah”.
dari
pengertian tentang peradilan yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam
tersebut di atas, tentu kita bisa menyimpulkan seperti apa pengertian dari
peradilan dalam konsep Islam itu. Jadi, redaksi dari pengertian peradilan
tersebut dapat dikemukakan dalam bentuk rumusan seperti berikut. Peradilan
adalah suatu lembaga yang diberi wewenang oleh penguasa untuk memproses dan
menyelesaikan perkara persengketaan atau perselisihan yang terjadii antara dua
orang atau lebih yang diajukan kepadanya dengan menggunakan atau menerapkan
hukum Islam.[2]
2.
Pengertian
peradilan dalam konsep peradilan Indonesia
Jika istilah
yang digunakan dalam literatur ke-Islaman (fikih) adalah qada , maka istilah
yang dipakai di Indonesia adalah “ Peradilan “. Kata peradilan, berasal dari
kata “ Adil ” yang diambil dari bahasa Arab. Dalam perkembangan sejarah
bahasa Indonesia selanjutnya, kata adil itu sendiri telah dibakukan menjadi
bahasa Indonesia. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, peradilan memiliki arti “
segala sesuatu perangkatnya, aturan mengenai proses atau hukum acaranya “.
Para pakar hukum di Indonesia,
memberi defenisi yang beragam mengenai pengertian peradilan tersebut. Namun ,
nampaknya ada persamaan di antara mereka, yaitu dalam hal menempatkan atau
mendudukkan kata peradilan tersebut. Pada umumnya mereka memahami kata “
peradilan “ itu sebagai terjemahan dari kata ” rechtspraak “ dalam
bahasa Belanda. Menurut Prof.Dr. Sudikno Mertokusumo, peradilan adalah “
kewenangan suatu lembaga untuk menyelesaikan suatu perkara, untuk dan atas nama
hukum demi tegaknya hukum dan keadilan “. Prof. Mahadi menjelaskan bahwa “
peradilan adalah suatu proses yang berakhir dengan memberi keadilan dalam suatu
keputusan. “ . Sedangkan menurut Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan,
peradilan adalah “ daya upaya mencari keadilan atau penyelesaian perselisihan
hukum yang dilakukan menurut peraturan-peraturan dan dalam lembaga-lembaga
tertentu dalam pengadilan.
Jika pengertian tentang peradilan
yang dikemukakan oleh para pakar diatas dihubungkan dengan tugas pokoknya
sebagaimana yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan seperti yang
termuat di dalam redaksi pasal 2 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang
ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang berbunyi “ penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan peradilan dengan tugas pokok
untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara
yang diajukan kepadanya “ . maka dapat kita simpulkan bahwa peradilan dalam
konsep peradilan di Indonesia adalah suatu lembaga pelaksana kekuasaan negara
dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara untuk
menegakkan hukum dan keadilan.[3]
3.
Kedudukan
peradilan dalam Islam
Untuk
mengetahui bagaimana persisnya kedudukan peradilan dalam Islam. Tentu tak bisa
terlepas dari pengkajian terhadap dua hal. Pertama , tentang dasar-dasar berupa
nas juga ijmak ulama yang dijadikan sebagai dasarrr hukum bagi perwujudan
peradilan dalam Islam. Kedua, mengenai kedudukan hukum dari peradilan itu
sendiri bagi perwujudannya dalam Islam.
a.
Dasar hukum
peradilan dalam Islam
Peradilan
dalam Islam memiliki dasar hukum yang bersumber dari nas Al-Qur`an, Hadist,
Ijmak ulama. Dasar – dasar hukum peradilan dalam islam dimaksud Sebagai
berikut.
1)
AL-Qur`an Surat
Al-Maidah ayat 49 yang artinya :
“ dan hendaklah kamu memeutuskan perkara di antara mereka menurut
apa yang diturnkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti haw nafsu mereka, dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling
(dari hukum yang telah diturnkan Allah), maka metahuilah bahwa susungguhnya
Allah menghendaki akan menimpakan mmusibah kepada mereka disebabkan sebahagian
dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang- orang yang
fasik.”.
2)
Hadist Nabi
SAW. Dalam riwayat Ahmad yang artinya :
“......
bahwa Nabi telah bersabda : tidak boleh bagi tiga orang yang berada ditanah
lapang (disuatu tempat) kecuali mereka mengangkat salah seorang dari mereka
untuk menjadi pimpinan”.
3)
Ijmak Sahabat
Para
sahabat ra. Telah sepakat untuk menegakkan peradilan di antara manusia, dan
mereka berpendapat bahwa menegakkan peradilan itu adalah kewajiban yang
ditetapkan dan sunnah yang diikuti, sebab Rasulullah sendiri telah
melaksanakannya, sahabat juga melaksanakannya pada masa hidup beliau. Atas dasr
itu pula, maka para sahabat sepeniggalan Rasul, bersama – sama tabi`in
melaksanaknnya.
b.
Pengertian
peradilan Islam di Indonesia
Kata “ peradilan Islam “ saja tampa dihubungkan dengan lokal, maka
ia berarti “ lembaga yang menyelesaikan perkara petengkaran untuk melenyapkan
gugat-menggugat dan untuk memotong petengkaran dengan hukum-hukum syara` yang
dipetik dari Al-Qur`an dan as-Sunnah.
Dan dalam arti umum artinya, berlaku bagi semua umat Islam di semua
wilayah tampa batas. Kemudian, ketika kata, “ peradilan Islam “ itu dihubungkan
dengan kata lokal, dalam hal ini Indonesia, sehingga menjadi satu susunan
kalimat dengan redaksi “ peradilan Islam Indonesia “ atau “ peradilan Islam di
Indonesia “.
Kemudian pengertian ini juga dimuat didalam UU Nomor 50 Tahun 2009
pasal 3A ayat (2) tentang perubahan kedua atas UU Nomor 7 Tahun 1989, maka yang
dimaksud dengan “ peradilan Islam Indonesia “ atau “ peradilan Islam Di
Indonesia Itu adalah “ peradilan Agama di Indonesia “ dan “ peradilan Syariah
di Provinsi Nanggroe Aceh Darusslam “.
Kemudian di Indonesia kita jumpai yang namanya Peradilan Agama, dan
jadi pertannyaannya, apa perbedann antara peradilan agama dengan peradilan
Islam ?
1. Peradilan
Agama
Peradilan
agama adalah sebutan resmi bagi salah satu di antara empat lingkungan Peradilan
Negara atau kekuasaan kehakiman yang sah di Indonesia. Tiga linkungan Peradilan
Negara lainnya adalah Peradilan Umum, Peradilan Militer dan peradilan Tata
Usaha Negara.
Peradilan
agama adalah salah satu diantara tiga Peradilan Khusus di Indonesia. Dua
peradilan khusus lainnya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha
Negara. Dikatakan peradilan Khusus karena peradilan Agama mengadili
perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Dalam hal ini,
Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata tertentu saja, tidak pidana
dan tidak pula hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia, dalam
perkara-perkara perdata islam tertentu, idak mencakup seluruh perdata islam.
Peradilan
Agama adalah peradilan Islam di Indonesia, sebab dari jenis-jenis perkara yang
ia boleh mengadili, seluruhnya adalah jenis perkara menurut agama islam.
Dirangkaikannya kata-kata “Peradilan Islam” dengan kata-kata “di Indonesia”
adalah karena jenis perkara yang ia boleh mengadilinya tersebut tidaklah
mencakup segala macam perkara menurut Peradilan Islam secara universal.
Dapat
disimpulkan bahwa peradilan agama adalah salah satu dari Peradilan Negara
Indonesia yang sah, yang bersifat peradilan khusus, yang berwenang dalam jenis
perkara perdana islam tertentu, bagi orang-orang islam di Indonesia.
2. Peradilan
Islam
Peradilan Islam adalah Peradilan islam
meliputi segala jenis perkara menurut ajaran Islam secara Universal. Oleh
karena itu dimana asas peradilannya
mempunyai prinsip-prinsip kesamaan sebab hukum islam itu tetap satu dan berlaku
atau dapat diberlakukan dimana pun, bukan hanya untuk suatu bangsa atau untuk
negara tertentu saja.
Untuk menghindari kekeliruan pemahaman,
apabila yang dimasudkan adalah “Peradilan Islam di Indonesia” maka cakup
digunakan istilah “Peradilan Agama”[4]
II.
Hubungan Peradilan Agama dengan Hukum
Islam
A. Proses
penerapan Hukum Islam di Indonesia
1. Penerapa
hukum Islam melalui Infra struktur sosial
Hukum
secara garis besar dapat dipahami sebagai “seperangkat
aturan yang diterbitkan oleh pihak yang penguasa atau berkompeten yang mengikat
dan dapat dipaksakan melalui sistem sanksinya dengan tujuan untuk mengatur dan
menertibkan kehidupan bermasyarakat”. Jika dipahami lebih lanjud dari segi
penerapannya, ada yang sukarela dilaksanakan dan ada yang memerlukan kekuatan
memaksakan dan ada yang memerlukan kekuatan memaksa dari penguasa untuk
menerapkannya. Pengembangan
hukum islam secara garis besar dilakukan melalui dua saluran, yaitu
infrastruktur dan suprastruktur sosial. Saluran infrastruktur sosial meliputi
pranata sosial dan organisasi sosial, sedangkan suprastruktur sosial meliputi
badan legislatif, administrasi pemerintahan, dan badan peradilan.
Adapun
bentuk bentuk pengembangan hukum islam meliputi:
a.
Pengajaran melalui saluran pendidikan dan saluran lain.
b. Fatwa
fatwa ulama terutama melalui organisa organisasi kemasyarakatan.
c. Penerapan
asas asas hukum islam ke dalam peraturan perundang-undangan.
d.
Pembentukan kompilasi hukum islam bagi orang islam.
e. Produk
produk pengadilan.
f. Kegiatan
kegiatan nyata didalam kehidupan masyarakat islam indonesia.[5]
Berkenaan
dengan penerapan suatu aturan hukum, Ismail Sunny mengatakan bahwa dalam teori
hukum konstitusi dikenal dengan dua istilah mengenainya, pertama disebut dengan
“persuasive source” yang berarti
penerapan atau pengenalan suatu hukum itu oleh masyarakat berdasarkan pada
kesadaran (iman dan taqwa) mereka. Kedua disebut dengan “authoritative souce” yang berarti penerapan atau pelaksanaanya
melalui kekuatan negara (melalui jalur peraturan perundang-undangan) dengan
sanksi melalui pengadilan. Istilah persuasive source semakna dengan istilah
“ius constituendum”. Ius constituendum adalah hukum yang dicita-citakan oleh
pergaulan hidup dalam negara, tetapi belum merupakan kaedah dalam bentuk
undang-undang. Sedangkan ius constitutum
adalah hukum positif suatu negara, yaitu hukum yang berlaku dalam suatu negara
pada suatu saat tertentu. Ini lah yang disebut dengan tata hukum, yang memiliki
arti “sistem dan tertib hukum yang
berlaku dalam suatu negara”. Maka tata hukum Indonesia adalah suatu tata
hukum yang telah ditetapkan oleh masyarakat atau bangsa Indonesia.
Berkenaan dengan hukum Islam, bahwa
sampai pada akhir abad kesembilan belas, pendapat yang kuat dikalangan Belanda
tentang hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum islam yang menjadi dasar.
Banyak petinjau dan ahli-ahli Belanda sependapat dengan Raffes, Marsden,
Crawfurd tentang adanya pencampuran antara norma-norma dan nilai agama dengan
kebiasaan masyarakat yang berbeda-beda di seluruh nusantara. Namun Pemerintah
Kolonial Belanda lebih memihak kepada adat, hal ini jelas terlihat terutama
ketika terjadi benturan dan pertentangan antara Islam dengan Adat, Belanda
selalu memihak kepada golongan adat (yakni penguasa setempat yang pada dasarnya
belum jelas-jelas anti islam menghadap golongan islam yang Universalis. Seperti
perang Paderi di Sumatera Barat pada awal abad ke sembilan belas). Gejala itu
ditunjukkan dan berakibat kepada Eksistensi Pengadilan Agama Islam. Hanya
landraad yang berkuasa untuk memerintahkann pelaksanaan bagi keputusan
Peradilan Agama dalam bentuk “executoire
verklaring”.
Berkenaan
dengan eksistensi Pengadilan Agama Islam ini, berbeda dengan antara pulau Jawa
dan Madura dengan daerah lainnya diseluruh kepulauan nusantara. Di pulau Jawa
dan Madura, Pengadilan Agama Islam terdapat disemua Kabupaten semenjak
kira-kira abad ke-16. Pengadilan Agama ini diselenggarakan oleh para penghulu,
yakni pejabat adminitrasi kemasjidan setempat dan sidang-sidangnya biasanya
berlangsung di serambi Masjid, sehingga sering juga disebut “Pengadilan
Serambi”. Di kala itu tidak ada pengadilan resmi lain yang melayani rakyat
pulau Jawa.
Peradilan
Agama memang telah ditarik dan dimasukkan ke dalam institusi negara oleh
pemerintahan Hindia Belanda sejak tahun 1882. Akan tetapi berkenaan dengan
hukum islam tidak ditemukan adanya data yang dimasukkannya kedalam tata hukum
Hindia Belanda. Oleh karena itu, Ismail Sunny menyatakan bahwa selama 14 tahun,
yaitu sejak dari tanggal 22 Juni tahun 1945 (waktu ditandatangani gentlemen
agreement antara pemimpin-pemimpin nasionalis sekuler dan nasionalis Islam)
sampai dengan 5 juli tahun 1959 (sebelum Dekrit Presiden RI. Diundangkan),
kedudukan hukum islam itu bagi masyarakat muslim Indonesia tidak lain adalah
melalui infa struktur sosial. Artinya hukum islam dilaksanakan atau diterapkan
oleh umat islam berdasarkan pada kesadaran masing-masing atau berdasarkan
kualitas iman dan taqwa mereka semata.
2. Penerapan
hukum Islam melalui Supra Struktur Sosial
Hukum
islam dalam bentuk nyata masuk kedalam tata hukum Indonesia baru dimulai pada
tahun 1959 dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden RI, tanggal 5 juli 1957.
Tentang hal ini Ismail Sunny mengatakan bahwa sejak tanggal 5 Juli tahun 1957
(setelah diundangkannya Dekrit Presiden RI), maka kedudukan hukum islam telah
menjadi “authoritative source”.
Asas-asas
dan noram-norma hukum islam ditranformasikan dan diintegrasikan ke dalam hukum
nasional, melalui peraturan perundang-undnagan dan produk-produk Pengadilan.
Asas-asa dan norma-norma hukum islam ditransformasikan dan integrasikan ke
dalam sebagian peraturan perundang-undagan yang berlaku untuk seluruh
masyarakat dan berlaku secara khusus di kalangan orang-orang beragama islam. Ia
juga diterapkan dalam bentuk-bentuk produk pengadilan, baik dalam pengadilan
dalam lingkungan umum maupun pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.[6]
Hukum
Islam dalam kategori fiqih, sebagai produk ijtihad tentu bersifat swasta (tidak
mengikat). Artinya bebas memilih pendapat mana yang sesuia dengan kondisi dan
kemaslahatannya. Bahkan pengalamannya tergantung pada kualitas iman dan taqwa
masing-masing individu umat. Dalam ilmu
hukum ini dikenal dengan “persuasive
source” atau Ius Constituendum” hanya dalam rangka menjaga keamanan dalam
amaliyah, watak fikih memang mengehendaki campur tangan pemerintahan sebagai “unifying force”.
Studi
terhadap pengadilan agama dan suatu lingkungan politik sangat jarang dilakukan.
Dalam perkembangan hukum islam dan peradilan agama serta pembinaan hukum
nasional maka penelitian ini akan dapat memberikan bahan-bahan baru untuk
dianalisa dan di kembangkan menjadi teori baru, sehingga melengkapi unsur-unsur
kajian hukum. Kajian terhadap pengadilan agama dalam pengumulan politik hukum
merupakan salah salah satu usaha untuk menepatkan hukum islam pada kedudukan
yang proporsional di dalam kerangka serta proses pembentukan hukum nasional. Value added dari studi ini akan dapat disusun suatu kerangaka tentang
unsur-unsur yang mendukung pembinaan hukum nasional dan hal-hal yang dapat
menghabat tercapainya tujuan tersebut. Selain itu, hasil penelitian ini di
harapkan dapat digunakan sebagai acuan dasar bagi perumusan suatu kebijakan
guna meminimalisir terjadinya konflik-konflik. Karena mengabaian terhadap hasil
kajian seperti ini tidak tertutup kemungkinan terjadinya kekeliruan dalam
membuat suatu kebijakkan, terutama bertitik singgung dengan umat islam dan
malah dapat mengganggu stabilitas nasional.
Selain
itu berguna dalam mengembangankan pendidikan hukum dan dapat pula dipakai
sebagai tiik tolak untuk mengadakan penelitian yang lebih dalam rangka
membangun hipotesa-hipotesa yang kelak akan diuji di penelitian yang lebih
lanjut. Semenara bagi khazanah kepustakaan dapat memperkaya referensi keagamaan
di Indonesia karena kajian dengan pendekatan sosio-historis yang empiric masih
erbilang langka, terutama berkenaan dengan peradilan agama di Indonesia.[7]
Hukum
islam yang berkenaan dengan masalah kemasyarakatan kenegaraan, semua itu
bersumber dari Al-quran dan Hadist dengan ciri-ciri:
1. Ditetapkan
melalui musyawarah,
2. Tidak
memperberat atau mempersulit umat
3. Menutup
akibat negatif
4. Mewudujkan
kemaslahatan umum
5. Menciptakan
keadilan
6. Tidak
bertentangan dengan jiwa dan semangat nas qat’iy
Hukum
nasional bila dilihat dari segi perbuatan,sumbernya,maupun cara penetapannya,
tidak dapat kita katakan sebagai hukum yang islami. Akan tetapi jika dilihat dari
segi isi, ia dapat dikatagorikan sebagai hukum yang islmi. Dengan catatan
selama memenuhi kriteria keenam prinsip di atas, sekalipun secara eksplisit
tidak terdapat dalam Al-quran dan sunnah. Bahkan tetap dinyatakan islami
sekalipun materinya itu secara harfiah bertentangan dengan Al-quran dan hadis,
dengan catatan dari segi semangat dan jiwanya tidak bertentangan tetapi malah
sejalan dengan jiwa dan semangat al-quran dan sunnah. Terhadap hukum nasional
semacam inilah umat islam wajib mentaatinya, sebagai aplikasi dari ketaatan
kepada ulil amri (pemerintah).
Ismail
Sunny mengatakan bahwa selama orde Baru ada tiga undang-undang yang merupakan
tonggak-tonggak penting bagi umat islam. Ketiganya adalah UU No 14 tahun 1970,
UU no 7 tahun 1989. Dikatakan tonggak-tonggak penting karena dengan UU itu
telah berkulah hukum islam dalam tata hukum nasional di bidang perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah. Kemudian lahir UU no 38 tahun
1999 tentang pengelolaan zakat, dan yang terakhir UU No 3 tahun 2006 tentang
perubahan atas UU No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan
berlakunya hukum islam dalam tata hukum Indonesia di bidang zakat, infak, dan
ekonomi syariah sebagai menambah terhadap bidang-bidang hukum islam yang sudah
ada.
Dengan
demikian, untuk sebahagian bidang hukum islam yang penerapannya memerlukan
bantuan kekuatan kekuasaan atu campur tangan pemerintah, telah diwujudkan oleh
negara melalui peraturan perundang-undangan seperti yang disebutkan diatas.
Dengan kata lain penerapan hukum islam di Indonesia ada yang telah dilakukan
melalui struktur sosial. [8]
[1] Fuji Rahmadi P, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia
(Bandung : Citapustaka Pustaka Perintis ,2009), hlm 61
[2] Pangeran
Harahap, Peradilan Agama Indonesia dari masa ke masa, medan, perdana
publising, Hal.13- 14
[3] Pangeran
Harahap, Peradilan Agama Indonesia dari masa ke masa, medan, perdana
publising, Hal.16
[4] Roihan
A. Rasyid, “Hukum Acara Peradilan Agama”,(Jakarta,PT Raja Grafindo,2015) halm 5-7
[5] Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta :
PT RajaGrafindo Persada, 1996), hlm.94-96
[6] Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta :
PT RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 92
[7] Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum Di
Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 23
[8] Pangeran
Harahap, “Peradilan Islam di Indonesia”,(Medan,
Perdana Mulya Sarana,2012) halm 12-16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar