Senin, 08 Juli 2019

“ Hubungan peradilan agama dengan hukum Islam “



A.    Hubungan Peradilan Agama dengan hukum Islam
Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang hubungan peradilan agama dengan hukum islam, alangkah kebih baiknya kita memahami terlebih dahulu apa itu yang dimaksud dengan peradilan.
       I.            Devenisi perdailan
Perdilan merupakan salah satu simbol dari kekuasan dan Pengadilan Agama Islam adalah simbol dari kekuasaan Islam. Ini berarti terbentuknya secara lembaga tak lepas dari kekuatan-kekuatan dan interaksi-interaksi yang dilakukan oleh penguasa Negara sebagai perwujudan dari politik hukum yang di ambil. Pengadilan juga bagian dari bagian pranara sosial sehingga corak dan perkembanagan masyarakat islam di negara-negara yang  bersangkutan.
Secara yuridis, hukum Islam (dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, waqaf,  sedaqah, zakat, infaq dan ekonomi syariah) berlaku di pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Hukum Islam yang diberlakukan di Peradilan Agama tersebut dilegitimasi dan diakui secara legal-formal dalam ketentuan undang-undang. Sebagai Peradilan keluarga, Peradilan Agama berwenang dalam mengadili dan menyelesaikan sengketa keluarga dan masyarakat islam, terutam yang berkaitan dengan perkawinan dan perceraian saja tapi juga masalah warisan. Karena berbagai personal yang menyangkut harta benda tidak terlepas dari keluarga, dengan sendirinya unsur-unsur wariasan berkaitan erat dengan masalah keluarga.
Mengingat tujuan utam Undang-undang No. 3 tahun 2006 tenang Peradilan Agama yaitu menempatkan sebagai bagian dari keseluruan struktur pelaksanaan kehakiman, maka eksistensinya tidak dimaksud secara khusus menjadi suatu Peradian keluarga.[1]
1.      pengertian peradilan dalam konsep peradilan islam
mengenai pengertian peradilan dalam konsep peradilan Islam inni akan ditampilkan beberapa ta`rif yang dikemukakan oleh beberapa fuqaha berikut. Muhammad Salam Madkur dalam bukunya yang berjudul “ al-Qadha`u fi al-Islam”  menegemukakan bahwa yang dimaksud dengan peradilan dalam konsep Islam adalah “ menyelesaikan sangketa antara dua pihak dengan hukum Allah “. Wahbah az-Zuhaili menyampaikan pengertian dari peradilan dalam konsep Islam itu berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh ulama mazhab Syafi`i, yaitu “ Memutuskan pertentangan yang terjadi diantara dua orang atau lebih yang bersangketa dengan merujuk kepada hukum Allah”.
dari pengertian tentang peradilan yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam tersebut di atas, tentu kita bisa menyimpulkan seperti apa pengertian dari peradilan dalam konsep Islam itu. Jadi, redaksi dari pengertian peradilan tersebut dapat dikemukakan dalam bentuk rumusan seperti berikut. Peradilan adalah suatu lembaga yang diberi wewenang oleh penguasa untuk memproses dan menyelesaikan perkara persengketaan atau perselisihan yang terjadii antara dua orang atau lebih yang diajukan kepadanya dengan menggunakan atau menerapkan hukum Islam.[2]
2.      Pengertian peradilan dalam konsep peradilan Indonesia
Jika istilah yang digunakan dalam literatur ke-Islaman (fikih) adalah qada , maka istilah yang dipakai di Indonesia adalah “ Peradilan “. Kata peradilan, berasal dari kata “ Adil ” yang diambil dari bahasa Arab. Dalam perkembangan sejarah bahasa Indonesia selanjutnya, kata adil itu sendiri telah dibakukan menjadi bahasa Indonesia. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, peradilan memiliki arti “ segala sesuatu perangkatnya, aturan mengenai proses atau hukum acaranya “.
            Para pakar hukum di Indonesia, memberi defenisi yang beragam mengenai pengertian peradilan tersebut. Namun , nampaknya ada persamaan di antara mereka, yaitu dalam hal menempatkan atau mendudukkan kata peradilan tersebut. Pada umumnya mereka memahami kata “ peradilan “ itu sebagai terjemahan dari kata ” rechtspraak “ dalam bahasa Belanda. Menurut Prof.Dr. Sudikno Mertokusumo, peradilan adalah “ kewenangan suatu lembaga untuk menyelesaikan suatu perkara, untuk dan atas nama hukum demi tegaknya hukum dan keadilan “. Prof. Mahadi menjelaskan bahwa “ peradilan adalah suatu proses yang berakhir dengan memberi keadilan dalam suatu keputusan. “ . Sedangkan menurut Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, peradilan adalah “ daya upaya mencari keadilan atau penyelesaian perselisihan hukum yang dilakukan menurut peraturan-peraturan dan dalam lembaga-lembaga tertentu dalam pengadilan.
            Jika pengertian tentang peradilan yang dikemukakan oleh para pakar diatas dihubungkan dengan tugas pokoknya sebagaimana yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan seperti yang termuat di dalam redaksi pasal 2 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang berbunyi “ penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya “ . maka dapat kita simpulkan bahwa peradilan dalam konsep peradilan di Indonesia adalah suatu lembaga pelaksana kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum dan keadilan.[3]
3.      Kedudukan peradilan dalam Islam
Untuk mengetahui bagaimana persisnya kedudukan peradilan dalam Islam. Tentu tak bisa terlepas dari pengkajian terhadap dua hal. Pertama , tentang dasar-dasar berupa nas juga ijmak ulama yang dijadikan sebagai dasarrr hukum bagi perwujudan peradilan dalam Islam. Kedua, mengenai kedudukan hukum dari peradilan itu sendiri bagi perwujudannya dalam Islam.
a.     Dasar hukum peradilan dalam Islam
Peradilan dalam Islam memiliki dasar hukum yang bersumber dari nas Al-Qur`an, Hadist, Ijmak ulama. Dasar – dasar hukum peradilan dalam islam dimaksud Sebagai berikut.
1)      AL-Qur`an Surat Al-Maidah ayat 49 yang artinya :
“ dan hendaklah kamu memeutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturnkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti haw nafsu mereka, dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturnkan Allah), maka metahuilah bahwa susungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mmusibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang- orang yang fasik.”.
2)      Hadist Nabi SAW. Dalam riwayat Ahmad yang artinya :
“...... bahwa Nabi telah bersabda : tidak boleh bagi tiga orang yang berada ditanah lapang (disuatu tempat) kecuali mereka mengangkat salah seorang dari mereka untuk menjadi pimpinan”.
3)      Ijmak Sahabat
Para sahabat ra. Telah sepakat untuk menegakkan peradilan di antara manusia, dan mereka berpendapat bahwa menegakkan peradilan itu adalah kewajiban yang ditetapkan dan sunnah yang diikuti, sebab Rasulullah sendiri telah melaksanakannya, sahabat juga melaksanakannya pada masa hidup beliau. Atas dasr itu pula, maka para sahabat sepeniggalan Rasul, bersama – sama tabi`in melaksanaknnya.
b.      Pengertian peradilan Islam di Indonesia
Kata “ peradilan Islam “ saja tampa dihubungkan dengan lokal, maka ia berarti “ lembaga yang menyelesaikan perkara petengkaran untuk melenyapkan gugat-menggugat dan untuk memotong petengkaran dengan hukum-hukum syara` yang dipetik dari Al-Qur`an dan as-Sunnah.  Dan dalam arti umum artinya, berlaku bagi semua umat Islam di semua wilayah tampa batas. Kemudian, ketika kata, “ peradilan Islam “ itu dihubungkan dengan kata lokal, dalam hal ini Indonesia, sehingga menjadi satu susunan kalimat dengan redaksi “ peradilan Islam Indonesia “ atau “ peradilan Islam di Indonesia “.
Kemudian pengertian ini juga dimuat didalam UU Nomor 50 Tahun 2009 pasal 3A ayat (2) tentang perubahan kedua atas UU Nomor 7 Tahun 1989, maka yang dimaksud dengan “ peradilan Islam Indonesia “ atau “ peradilan Islam Di Indonesia Itu adalah “ peradilan Agama di Indonesia “ dan “ peradilan Syariah di Provinsi Nanggroe Aceh Darusslam “.
Kemudian di Indonesia kita jumpai yang namanya Peradilan Agama, dan jadi pertannyaannya, apa perbedann antara peradilan agama dengan peradilan Islam ?
1.      Peradilan Agama
Peradilan agama adalah sebutan resmi bagi salah satu di antara empat lingkungan Peradilan Negara atau kekuasaan kehakiman yang sah di Indonesia. Tiga linkungan Peradilan Negara lainnya adalah Peradilan Umum, Peradilan Militer dan peradilan Tata Usaha Negara.
Peradilan agama adalah salah satu diantara tiga Peradilan Khusus di Indonesia. Dua peradilan khusus lainnya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan peradilan Khusus karena peradilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Dalam hal ini, Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata tertentu saja, tidak pidana dan tidak pula hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia, dalam perkara-perkara perdata islam tertentu, idak mencakup seluruh perdata islam.
Peradilan Agama adalah peradilan Islam di Indonesia, sebab dari jenis-jenis perkara yang ia boleh mengadili, seluruhnya adalah jenis perkara menurut agama islam. Dirangkaikannya kata-kata “Peradilan Islam” dengan kata-kata “di Indonesia” adalah karena jenis perkara yang ia boleh mengadilinya tersebut tidaklah mencakup segala macam perkara menurut Peradilan Islam secara universal.
Dapat disimpulkan bahwa peradilan agama adalah salah satu dari Peradilan Negara Indonesia yang sah, yang bersifat peradilan khusus, yang berwenang dalam jenis perkara perdana islam tertentu, bagi orang-orang islam di Indonesia.
2.      Peradilan Islam
Peradilan Islam adalah Peradilan islam meliputi segala jenis perkara menurut ajaran Islam secara Universal. Oleh karena itu  dimana asas peradilannya mempunyai prinsip-prinsip kesamaan sebab hukum islam itu tetap satu dan berlaku atau dapat diberlakukan dimana pun, bukan hanya untuk suatu bangsa atau untuk negara tertentu saja.
Untuk menghindari kekeliruan pemahaman, apabila yang dimasudkan adalah “Peradilan Islam di Indonesia” maka cakup digunakan istilah “Peradilan Agama”[4]
    II.            Hubungan Peradilan Agama dengan Hukum Islam
A.    Proses penerapan Hukum Islam di Indonesia
1.      Penerapa hukum Islam melalui Infra struktur sosial
Hukum secara garis besar dapat dipahami sebagai “seperangkat aturan yang diterbitkan oleh pihak yang penguasa atau berkompeten yang mengikat dan dapat dipaksakan melalui sistem sanksinya dengan tujuan untuk mengatur dan menertibkan kehidupan bermasyarakat”. Jika dipahami lebih lanjud dari segi penerapannya, ada yang sukarela dilaksanakan dan ada yang memerlukan kekuatan memaksakan dan ada yang memerlukan kekuatan memaksa dari penguasa untuk menerapkannya. Pengembangan hukum islam secara garis besar dilakukan melalui dua saluran, yaitu infrastruktur dan suprastruktur sosial. Saluran infrastruktur sosial meliputi pranata sosial dan organisasi sosial, sedangkan suprastruktur sosial meliputi badan legislatif, administrasi pemerintahan, dan badan peradilan.
Adapun bentuk bentuk pengembangan hukum islam meliputi:
a. Pengajaran melalui saluran pendidikan dan saluran lain.
b. Fatwa fatwa ulama terutama melalui organisa organisasi kemasyarakatan.
c. Penerapan asas asas hukum islam ke dalam peraturan perundang-undangan.
d. Pembentukan kompilasi hukum islam bagi orang islam.
e. Produk produk pengadilan.
f. Kegiatan kegiatan nyata didalam kehidupan masyarakat islam indonesia.[5]
            Berkenaan dengan penerapan suatu aturan hukum, Ismail Sunny mengatakan bahwa dalam teori hukum konstitusi dikenal dengan dua istilah mengenainya, pertama disebut dengan “persuasive source” yang berarti penerapan atau pengenalan suatu hukum itu oleh masyarakat berdasarkan pada kesadaran (iman dan taqwa) mereka. Kedua disebut dengan “authoritative souce” yang berarti penerapan atau pelaksanaanya melalui kekuatan negara (melalui jalur peraturan perundang-undangan) dengan sanksi melalui pengadilan.  Istilah persuasive source semakna dengan istilah “ius constituendum”. Ius constituendum  adalah hukum yang dicita-citakan oleh pergaulan hidup dalam negara, tetapi belum merupakan kaedah dalam bentuk undang-undang. Sedangkan ius constitutum adalah hukum positif suatu negara, yaitu hukum yang berlaku dalam suatu negara pada suatu saat tertentu. Ini lah yang disebut dengan tata hukum, yang memiliki arti “sistem dan tertib hukum yang berlaku dalam suatu negara”. Maka tata hukum Indonesia adalah suatu tata hukum yang telah ditetapkan oleh masyarakat atau bangsa Indonesia.
            Berkenaan dengan hukum Islam, bahwa sampai pada akhir abad kesembilan belas, pendapat yang kuat dikalangan Belanda tentang hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum islam yang menjadi dasar. Banyak petinjau dan ahli-ahli Belanda sependapat dengan Raffes, Marsden, Crawfurd tentang adanya pencampuran antara norma-norma dan nilai agama dengan kebiasaan masyarakat yang berbeda-beda di seluruh nusantara. Namun Pemerintah Kolonial Belanda lebih memihak kepada adat, hal ini jelas terlihat terutama ketika terjadi benturan dan pertentangan antara Islam dengan Adat, Belanda selalu memihak kepada golongan adat (yakni penguasa setempat yang pada dasarnya belum jelas-jelas anti islam menghadap golongan islam yang Universalis. Seperti perang Paderi di Sumatera Barat pada awal abad ke sembilan belas). Gejala itu ditunjukkan dan berakibat kepada Eksistensi Pengadilan Agama Islam. Hanya landraad yang berkuasa untuk memerintahkann pelaksanaan bagi keputusan Peradilan Agama dalam bentuk “executoire verklaring”.
Berkenaan dengan eksistensi Pengadilan Agama Islam ini, berbeda dengan antara pulau Jawa dan Madura dengan daerah lainnya diseluruh kepulauan nusantara. Di pulau Jawa dan Madura, Pengadilan Agama Islam terdapat disemua Kabupaten semenjak kira-kira abad ke-16. Pengadilan Agama ini diselenggarakan oleh para penghulu, yakni pejabat adminitrasi kemasjidan setempat dan sidang-sidangnya biasanya berlangsung di serambi Masjid, sehingga sering juga disebut “Pengadilan Serambi”. Di kala itu tidak ada pengadilan resmi lain yang melayani rakyat pulau Jawa.
Peradilan Agama memang telah ditarik dan dimasukkan ke dalam institusi negara oleh pemerintahan Hindia Belanda sejak tahun 1882. Akan tetapi berkenaan dengan hukum islam tidak ditemukan adanya data yang dimasukkannya kedalam tata hukum Hindia Belanda. Oleh karena itu, Ismail Sunny menyatakan bahwa selama 14 tahun, yaitu sejak dari tanggal 22 Juni tahun 1945 (waktu ditandatangani gentlemen agreement antara pemimpin-pemimpin nasionalis sekuler dan nasionalis Islam) sampai dengan 5 juli tahun 1959 (sebelum Dekrit Presiden RI. Diundangkan), kedudukan hukum islam itu bagi masyarakat muslim Indonesia tidak lain adalah melalui infa struktur sosial. Artinya hukum islam dilaksanakan atau diterapkan oleh umat islam berdasarkan pada kesadaran masing-masing atau berdasarkan kualitas iman dan taqwa mereka semata.
2.      Penerapan hukum Islam melalui Supra Struktur Sosial
Hukum islam dalam bentuk nyata masuk kedalam tata hukum Indonesia baru dimulai pada tahun 1959 dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden RI, tanggal 5 juli 1957. Tentang hal ini Ismail Sunny mengatakan bahwa sejak tanggal 5 Juli tahun 1957 (setelah diundangkannya Dekrit Presiden RI), maka kedudukan hukum islam telah menjadi “authoritative source”.
Asas-asas dan noram-norma hukum islam ditranformasikan dan diintegrasikan ke dalam hukum nasional, melalui peraturan perundang-undnagan dan produk-produk Pengadilan. Asas-asa dan norma-norma hukum islam ditransformasikan dan integrasikan ke dalam sebagian peraturan perundang-undagan yang berlaku untuk seluruh masyarakat dan berlaku secara khusus di kalangan orang-orang beragama islam. Ia juga diterapkan dalam bentuk-bentuk produk pengadilan, baik dalam pengadilan dalam lingkungan umum maupun pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.[6]

Hukum Islam dalam kategori fiqih, sebagai produk ijtihad tentu bersifat swasta (tidak mengikat). Artinya bebas memilih pendapat mana yang sesuia dengan kondisi dan kemaslahatannya. Bahkan pengalamannya tergantung pada kualitas iman dan taqwa masing-masing individu umat.  Dalam ilmu hukum ini dikenal dengan “persuasive source” atau Ius Constituendum”  hanya dalam rangka menjaga keamanan dalam amaliyah, watak fikih memang mengehendaki campur tangan pemerintahan sebagai “unifying force”.
Studi terhadap pengadilan agama dan suatu lingkungan politik sangat jarang dilakukan. Dalam perkembangan hukum islam dan peradilan agama serta pembinaan hukum nasional maka penelitian ini akan dapat memberikan bahan-bahan baru untuk dianalisa dan di kembangkan menjadi teori baru, sehingga melengkapi unsur-unsur kajian hukum. Kajian terhadap pengadilan agama dalam pengumulan politik hukum merupakan salah salah satu usaha untuk menepatkan hukum islam pada kedudukan yang proporsional di dalam kerangka serta proses pembentukan hukum nasional. Value added dari studi ini akan dapat disusun suatu kerangaka tentang unsur-unsur yang mendukung pembinaan hukum nasional dan hal-hal yang dapat menghabat tercapainya tujuan tersebut. Selain itu, hasil penelitian ini di harapkan dapat digunakan sebagai acuan dasar bagi perumusan suatu kebijakan guna meminimalisir terjadinya konflik-konflik. Karena mengabaian terhadap hasil kajian seperti ini tidak tertutup kemungkinan terjadinya kekeliruan dalam membuat suatu kebijakkan, terutama bertitik singgung dengan umat islam dan malah dapat mengganggu stabilitas nasional.
Selain itu berguna dalam mengembangankan pendidikan hukum dan dapat pula dipakai sebagai tiik tolak untuk mengadakan penelitian yang lebih dalam rangka membangun hipotesa-hipotesa yang kelak akan diuji di penelitian yang lebih lanjut. Semenara bagi khazanah kepustakaan dapat memperkaya referensi keagamaan di Indonesia karena kajian dengan pendekatan sosio-historis yang empiric masih erbilang langka, terutama berkenaan dengan peradilan agama di Indonesia.[7]

Hukum islam yang berkenaan dengan masalah kemasyarakatan kenegaraan, semua itu bersumber dari Al-quran dan Hadist dengan ciri-ciri:
1.      Ditetapkan melalui musyawarah,
2.      Tidak memperberat atau mempersulit umat
3.      Menutup akibat negatif
4.      Mewudujkan kemaslahatan umum
5.      Menciptakan keadilan
6.      Tidak bertentangan dengan jiwa dan semangat nas qat’iy
Hukum nasional bila dilihat dari segi perbuatan,sumbernya,maupun cara penetapannya, tidak dapat kita katakan sebagai hukum yang islami. Akan tetapi jika dilihat dari segi isi, ia dapat dikatagorikan sebagai hukum yang islmi. Dengan catatan selama memenuhi kriteria keenam prinsip di atas, sekalipun secara eksplisit tidak terdapat dalam Al-quran dan sunnah. Bahkan tetap dinyatakan islami sekalipun materinya itu secara harfiah bertentangan dengan Al-quran dan hadis, dengan catatan dari segi semangat dan jiwanya tidak bertentangan tetapi malah sejalan dengan jiwa dan semangat al-quran dan sunnah. Terhadap hukum nasional semacam inilah umat islam wajib mentaatinya, sebagai aplikasi dari ketaatan kepada ulil amri (pemerintah).
Ismail Sunny mengatakan bahwa selama orde Baru ada tiga undang-undang yang merupakan tonggak-tonggak penting bagi umat islam. Ketiganya adalah UU No 14 tahun 1970, UU no 7 tahun 1989. Dikatakan tonggak-tonggak penting karena dengan UU itu telah berkulah hukum islam dalam tata hukum nasional di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah. Kemudian lahir UU no 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, dan yang terakhir UU No 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan berlakunya hukum islam dalam tata hukum Indonesia di bidang zakat, infak, dan ekonomi syariah sebagai menambah terhadap bidang-bidang hukum islam yang sudah ada.
Dengan demikian, untuk sebahagian bidang hukum islam yang penerapannya memerlukan bantuan kekuatan kekuasaan atu campur tangan pemerintah, telah diwujudkan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan seperti yang disebutkan diatas. Dengan kata lain penerapan hukum islam di Indonesia ada yang telah dilakukan melalui struktur sosial. [8]


[1] Fuji Rahmadi P, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia (Bandung : Citapustaka Pustaka Perintis ,2009), hlm  61
[2] Pangeran Harahap, Peradilan Agama Indonesia dari masa ke masa, medan, perdana publising, Hal.13- 14
[3] Pangeran Harahap, Peradilan Agama Indonesia dari masa ke masa, medan, perdana publising, Hal.16
[4] Roihan A. Rasyid, “Hukum Acara Peradilan Agama”,(Jakarta,PT Raja Grafindo,2015) halm 5-7
[5] Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1996),  hlm.94-96
[6] Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1996),  hlm. 92
[7] Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum Di Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 23
[8] Pangeran Harahap, “Peradilan Islam di Indonesia”,(Medan, Perdana Mulya Sarana,2012) halm 12-16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar